Tuesday, 20 June 2017

Menakar Kesaktian Manajemen Risiko

SECARA persentase, jumlah dana yang dibobol (Rp 33 miliar) dibandingkan dengan total dana yang ada (Rp 5,5 triliun) di Bank Danamon, Jalan Diponegoro, Medan, Sumatera Utara, relatif kecil, yakni sebesar 0,06 persen dari total dana. Namun, apabila dilihat dari risiko reputasi, jumlah ini tidaklah kecil. Bagaimana mungkin pencurian uang sebanyak itu dengan cara yang tradisional dapat dilakukan di "depan hidung" supervisor. Bahkan, di bank yang khusus diprivatisasi dan dijual ke bank asing dengan harapan akan dapat meningkatkan akuntabilitasnya dalam mengelola dana pihak ketiga.

SEJAK krisis moneter tahun 1998, semua kasus, mulai dari fraud sampai kepada penutupan bank, selalu dikaitkan dengan tidak efektif atau tidak berfungsinya manajemen risiko, kontrol internal, dan tata kelola perusahaan yang baik (good corporate governance/GCG). Lalu timbul pertanyaan, apakah dengan berfungsinya ketiga hal tersebut, khususnya manajemen risiko, kasus pembobolan bank tidak akan terjadi? Seberapa saktikah manajemen risiko mampu menangkal tindak perbuatan kecurangan (FRAUD)?

1.   Penerapan
Kita gunakan kasus pembobolan kas Bank Danamon di Medan sebagai contoh. Kita asumsikan dulu bahwa sejak Bank Indonesia (BI) mengeluarkan peraturan mengenai manajemen risiko pada Mei 2003, bank-bank di Indonesia mulai mempersiapkan dan menerapkan manajemen risiko. Kita asumsikan juga bahwa manajemen risiko terhadap delapan risiko yang diwajibkan oleh BI (kredit, pasar, likuiditas, operasional, hukum, reputasi, strategi, dan kepatuhan) telah dikelola oleh bank-bank berskala besar secara terintegrasi dan bukan berdiri sendiri-sendiri (SILO).

Akan tetapi, timbul pertanyaan, apakah bank-bank menggunakan pendekatan top-down atau bottom-up, atau kombinasi keduanya. Mari kita asumsikan, bank-bank umumnya menggunakan kombinasi dari kedua pendekatan ini. Artinya, komite/satuan kerja manajemen risiko di kantor pusat telah menyusun kebijakan, prosedur manajemen risiko dan pedoman mengidentifikasi sampai memantau risiko, serta semua pejabat di level operasional, seperti kepala cabang dan supervisor, yang tidak menjalankan tugas teller dan dipercaya untuk mengawasi teller telah melakukan proses manajemen risiko sesuai dengan kebijakan dan prosedur manajemen risiko yang ada.

Katakanlah kepala cabang dan supervisor telah melakukan pengidentifikasian risiko dengan melakukan event identification dan risk assessment. Likelihood dan impact dari risiko di bidang kas telah dipahami, baik dengan menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif. Data masa lalu yang dapat diobservasi menunjukkan bahwa peristiwa pembobolan uang kas tidak pernah terjadi. Bahkan, dengan model probabilistik (operational loss distribution) maupun non-probabilistic models (scenario analysis), tetap saja memberikan rating low terhadap likelihhod maupun impact.

2.   Kontrol internal
Kita asumsikan bahwa bank-bank memiliki kebijakan untuk memelihara uang kas ke tingkat yang minimal guna melayani nasabah. Tujuannya, untuk mencegah ekses dalam non-earning assets dan mengurangi risiko penyalahgunaan uang kas dan perampokan. Di samping itu, sistem teller yang digunakan umumnya telah memiliki pengawasan melekat (built in internal control) yang memadai. Misalnya, setiap akhir hari sistem akan mengeluarkan summary teller, summary head teller, rincian pecahan uang kas (denomination), dan rekening buku besar untuk kas sehingga pencocokan uang secara fisik dengan semua catatan tersebut dapat dilakukan secara lebih rinci.

Bank juga memiliki kebijakan dan standar prosedur operasional (SOP) yang mengharuskan kepala cabang dan/atau supervisor melakukan inspeksi kas, misalnya setiap hari untuk jumlah besar dan beberapa kali dalam sebulan untuk memeriksa uang fisik secara satu per satu (tentunya dengan mesin penghitung uang). Bank-bank juga menerapkan dual custody untuk pengamanan uang kas cadangan dalam ruang "khazanah" selama jam kerja dan dual lock system untuk pengamanan seluruh uang kas di luar jam kerja. Selain itu, semua teller maupun head teller dilarang memproses cek milik sendiri. Mereka wajib menyelesaikan semua cek pada hari yang sama, dan tidak memiliki akses ke sistem akuntansi.

3.   Bisa tidur tenang?
Katakanlah bank-bank telah menerapkan GCG. Khususnya lagi pada bank swasta dengan kepemilikan asing yang mayoritas. Kemudian, apakah dengan telah diterapkannya manajemen risiko, kontrol internal yang memadai disertai governance yang baik, lalu manajemen bank mulai dari komisaris, direksi, sampai ke kepala cabang bisa tidur nyenyak sebagaimana diiklankan beberapa konsultan manajemen risiko?

Masalahnya selalu ada celah yang terbuka, baik pada proses manajemen risiko maupun kontrol internal yang melekat (built-in) sekali pun. Mari kita reka sebuah skenario sederhana, yaitu seorang nasabah yang teman head teller menarik cek dengan jumlah besar, di atas kewenangan teller untuk menerima dan masih di bawah kewenangan head teller untuk memprosesnya. Cek asli dan penanda tangan sah. Uang dibayarkan, tetapi cek tidak diproses oleh head teller karena saldo di rekening nasabah atau temannya itu tidak mencukupi. Head teller telah memahami pola inspeksi kas yang dilakukan oleh atasannya.

Skenario yang sederhana ini pun cukup untuk membuktikan bahwa kontrol internal di-by-pass dan manajemen risiko bukan sesuatu yang bersifat magic, sehingga keberadaannya akan secara otomatis dapat mengatasi semua masalah. Apalagi kalau head teller memiliki kinerja memuaskan.

Kalau begitu, percuma saja bank- bank menerapkan manajemen risiko? Tentu saja tidak. Hanya saja semua orang yang terlibat di dalam proses manajemen risiko itu tetap harus bekerja keras. Harus ada prinsip untuk mempercayai orang, tetapi tidak pekerjaannya. Jadi, pekerjaan setiap orang harus selalu ada orang lain yang memeriksa hasilnya. Apalagi dari hasil profiling para pelaku fraud yang dijadikan red flag justru menegaskan untuk mencurigai sifat-sifat, seperti rajin, sering lembur, jarang mengambil cuti, ringan tangan mengerjakan pekerjaan orang lain, dan pulang paling akhir, sehingga dipercaya untuk memegang kunci dan bahkan mater key (atau password).

Dikarenakan fraud tidak akan terlepas dari unsur manusia, pengamatan perilaku, gaya hidup, sampai kepada persoalan pribadi atau masalah rumah tangga masing-masing pegawai perlu dilakukan. Dan, tentunya masih banyak pekerjaan rumah (PR) lain yang harus dilakukan oleh para manajer bank.

Related Posts

Menakar Kesaktian Manajemen Risiko
4/ 5
Oleh