Saturday 31 August 2024

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN


 

 

UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                 
NOMOR 40 TAHUN 2014

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
           
NOMOR 40 TAHUN 2014

TENTANG

PERASURANSIAN

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
           
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

 

Menimbang       :      a.  bahwa   industri   perasuransian   yang                   sehat,                             dapat

diandalkan, amanah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan  bagi  pemegang  polis,   tertanggung,   atau peserta, dan berperan mendorong pembangunan nasional;

 

b.  bahwa  dalam  rangka   menyikapi   dan   mengantisipasi

perkembangan               industri                                         perasuransian                                         serta

perkembangan perekonomian, balk pada tingkat nasional maupun pada tingkat global,  perlu mengganti Undang-

Undang         Nomor       2      Tahun                      1992           tentang                      Usaha

Perasuransian dengan undang-undang yang bare;

 

c.  bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
      
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
      
Undang tentang Perasuransian;

 

 

Mengingat               Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

 

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
                                                  
dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

 

MEMUTUSKAN: 

 

Menetapkan :         UNDANG-UNDANG TENTANG PERASURANSIAN.

 


 

 

 

BAB I

KETENTUAN UMUM

 

Pasal 1

 

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Asuransi  adalah  perjanjian  antara  dua  pihak,  yaitu
      
perusahaan asuransi dan pemegang polls, yang menjadi
      
dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
      
sebagai imbalan untuk:

a.  memberikan  penggantian  kepada  tertanggung  atau
      
pemegang  polls  karena  kerugian,  kerusakan,  biaya
      
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
      
jawab  hukum  kepada  pihak  ketiga yang  mungkin
       diderita  tertanggung  atau  pemegang  polis  karena
      
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b.  memberikan   pembayaran   yang   didasarkan   pada
      
meninggalnya  tertanggung  atau   pembayaran  yang
      
didasarkan pada   hidupnya   tertanggung   dengan
       manfaat  yang  besarnya  telah  ditetapkan  dan/atau
      
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

2.  Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian, yang terdiri
      
atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah dan
      
pemegang polis dan perjanjian di antara para pemegang
      
polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi berdasarkan
      
prinsip  syariah  guna  soling  menolong dan  melindungi
      
dengan cara:

a.  memberikan          penggantian                                     kepada                                     peserta                                     atau

pemegang  polis  karena  kerugian,  kerusakan,  biaya yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab  hukum  kepada  pihak  ketiga yang  mungkin diderita peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau

b.  memberikan   pembayaran   yang   didasarkan   pada

meninggalnya         peserta         atau                                  pembayaran                                  yang

didasarkan  pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

3.      Prinsip  Syariah  adalah  prinsip  hukum  Islam  dalam

kegiatan        perasuransian                                berdasarkan             fatwa                                yang

dikeluarkan  oleh  lembaga yang  memiliki  kewenangan

dalam penetapan fatwa di bidang syariah.

4.      Usaha Perasuransian adalah segala usaha menyangkut

jasa          pertanggungan           atau                         pengelolaan                risiko,

pertanggungan ulang risiko, pemasaran dan distribusi

produk   asuransi           atau                                                   produk                                                   asuransi                                                   syariah,

konsultasi        dan       keperantaraan                                   asuransi,                                   asuransi

syariah,   reasuransi,   atau   reasuransi   syariah,   atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.

5.       Usaha Asuransi Umum adalah usaha jasa pertanggungan

risiko yang memberikan penggantian kepada tertanggung atau pemegang polls karena kerugian, kerusakan, biaya yang  timbul,  kehilangan  keuntungan,  atau  tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita tertanggung atau pemegang polls karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.

6.      Usaha         Asuransi          Jiwa          adalah         usaha               yang

menyelenggarakan  jasa   penanggulangan   risiko                                                                     yang

memberikan        pembayaran   kepada   pemegang   polls,

tertanggung,  atau  pihak lain yang berhak dalam  hal tertanggung  meninggal  dunia  atau  tetap  hidup,  atau pembayaran lain  kepada pemegang polis, tertanggung,

atau pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

7.      Usaha  Reasuransi  adalah  usaha jasa  pertanggungan

ulang terhadap risiko yang dihadapi  oleh  perusahaan asuransi,   perusahaan   penjaminan,   atau   perusahaan reasuransi lainnya.

8.      Usaha       Asuransi        Umum         Syariah     adalah            usaha

pengelolaan  risiko  berdasarkan  Prinsip  Syariah  guna saling  menolong  dan  melindungi  dengan  memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis karena kerugian,  kerusakan,  biaya  yang  timbul,  kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin  diderita peserta atau  pemegang

polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.

9.       Usaha Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan

risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling menolong dan melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta, atau pembayaran lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak   pada   waktu   tertentu   yang   diatur   dalam perjanjian,  yang  besarnya  telah  ditetapkan  dan/atau didasarkan pada hasil pengelolaan dana.

10.  Usaha  Reasuransi  Syariah  adalah  usaha  pengelolaan
        
risiko  berdasarkan  Prinsip  Syariah  atas  risiko  yang
         dihadapi oleh perusahaan asuransi syariah, perusahaan
        
penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi syariah
        
lainnya.

11. Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi
        
dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau

asuransi        syariah       serta                                penanganan                                penyelesaian

klaimnya  dengan   bertindak   untuk  dan   atas   nama

pemegang polis, tertanggung, atau peserta.

12.    Usaha Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi

dan/atau keperantaraan dalam penempatan reasuransi

atau penempatan reasuransi syariah serta penanganan

penyelesaian klaimnya dengan bertindak untuk dan atas

nama   perusahaan   asuransi,                                                         perusahaan   asuransi

syariah,           perusahaan                                  penjaminan,                                  perusahaan

penjaminan   syariah,                                                         perusahaan   reasuransi,   atau

perusahaan         reasuransi                                      syariah              yang                                      melakukan

penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.

13.  Usaha  Penilai  Kerugian  Asuransi  adalah  usaha jasa
        
penilaian  klaim  dan/atau jasa  konsultasi  atas  objek
        
asuransi.

14.    Perusahaan Perasuransian adalah perusahaan asuransi,

perusahaan  asuransi  syariah,  perusahaan  reasuransi, perusahaan   reasuransi   syariah,   perusahaan   pialang

asuransi,          perusahaan                         pialang                         reasuransi,           dan

perusahaan penilai kerugian asuransi.

15.    Perusahaan Asuransi adalah perusahaan asuransi umum

dan perusahaan asuransi jiwa.

16.  Perusahaan        Asuransi      Syariah                                      adalah                                      perusahaan

asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.

17.  Pihak  adalah  orang  atau  badan  usaha,  baik  yang
        
berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk
        
badan hukum.

 

18.     Dana Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah,  perusahaan reasuransi, atau  perusahaan reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka melindungi kepentingan pemegang polis,  tertanggung,  atau  peserta,  dalam hal Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah dilikuidasi.

19.     Pengendali adalah Pihak yang secara langsung atau tidak

langsung  mempunyai  kemampuan  untuk menentukan direksi,  dewan  komisaris,  atau  yang  setara  dengan direksi   atau   dewan   komisaris   pada  badan   hukum berbentuk   koperasi   atau   usaha   bersama   dan/atau mempengaruhi tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama.

20.  Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang berasal dari
        
premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang
        
timbul  dari  polis  yang  diterbitkan  atau  dari  klaim
        
asu ran si .

 

21.     Dana Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari

kontribusi para peserta, yang mekanisme penggunaannya sesuai   dengan   perjanjian   Asuransi Syariah   atau perjanjian reasuransi syariah.

22.  Pemegang  Polis  adalah  Pihak  yang  mengikatkan  diri
         
berdasarkan  perjanjian  dengan  Perusahaan  Asuransi,
         
Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan  reasuransi,
         
atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan
         
pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi dirinya,
         
tertanggung, atau peserta lain.

23.  Tertanggung  adalah   Pihak  yang   menghadapi   risiko
         
sebagaimana  diatur  dalam  perjanjian  Asuransi  atau
         
perjanjian reasuransi.

24.  Peserta       adalah       Pihak       yang                               menghadapi              risiko

sebagaimana diatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian reasuransi syariah.

25.  Objek   Asuransi   adalah   jiwa   dan   raga,   kesehatan
        
manusia, tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta
       
semua kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak,
       
rugi, dan/atau berkurang nilainya.

26.  Pialang  Asuransi   adalah   orang  yang   bekerja  pada
       
perusahaan pialang asuransi dan memenuhi persyaratan
       
untuk memberi rekomendasi atau mewakili Pemegang
       
Polis,   Tertanggung,   atau   Peserta  dalam  melakukan
        
penutupan  asuransi  atau  asuransi  syariah  dan/atau
       
penyelesaian klaim.

27.  Pialang  Reasuransi  adalah  orang  yang  bekerja  pada

perusahaan       pialang                              reasuransi  dan                          memenuhi

persyaratan untuk memberi rekomendasi atau mewakili

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan       penjaminan,                              perusahaan                          penjaminan

syariah,       perusahaan   reasuransi,                     atau                     perusahaan

reasuransi        syariah       dalam                       melakukan                       penutupan

reasuransi         atau         reasuransi                             syariah   dan/atau

penyelesaian klaim.

28.  Agen Asuransi adalah orang yang bekerja sendiri atau
       
bekerja pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
       
atas   nama   Perusahaan   Asuransi   atau   Perusahaan
       
Asuransi  Syariah  dan  memenuhi  persyaratan  untuk

mewakili       Perusahaan                       Asuransi             atau                       Perusahaan

Asuransi  Syariah  memasarkan  produk  asuransi  atau produk asuransi syariah.

29.  Premi  adalah   sejumlah   uang  yang  ditetapkan  oleh
       
Perusahaan Asuransi atau perusahaan reasuransi dan
       
disetujui   oleh   Pemegang   Polls   untuk   dibayarkan

berdasarkan         perjanjian                               Asuransi          atau                               perjanjian

reasuransi,   atau   sejumlah   uang   yang   ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan

yang       mendasari        program               asuransi            wajib               untuk

memperoleh manfaat.

 

30.  Kontribusi adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh

Perusahaan         Asuransi                              Syariah          atau                              perusahaan

reasuransi syariah  dan disetujui oleh  Pemegang Polls untuk   dibayarkan   berdasarkan   perjanjian   Asuransi Syariah   atau   perjanjian   reasuransi   syariah   untuk memperoleh manfaat dari Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan untuk membayar biaya pengelolaan atau   sejumlah   uang   yang   ditetapkan   berdasarkan

ketentuan          peraturan                            perundang-undangan                            yang

mendasari program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.

31.  Afiliasi adalah hubungan antara seseorang atau badan
       
hukum dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum
        
lain, sedemikian rupa sehingga salah satu dan  mereka
        dapat  mempengaruhi pengelolaan atau  kebijakan dari
       
orang yang  lain  atau  badan  hukum  yang lain  atau
       
sebaliknya.

32.  Program Asuransi Wajib adalah program yang diwajibkan
        
peraturan   perundang-undangan   bagi   seluruh   atau
       
kelompok tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan
        
pelindungan dan risiko tertentu, tidak termasuk program
        
yang  diwajibkan  undang-undang  untuk  memberikan
       
pelindungan dasar bagi masyarakat dengan mekanisme
       
subsidi silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau
        
Kontribusinya.

33.  Pengelola  Statuter  adalah  Pihak  yang  ditunjuk  oleh

Otoritas   Jasa          Keuangan                                    untuk                                    mengambil                                    alih

kepengurusan         Perusahaan                                   Asuransi,                                   Perusahaan

Asuransi        Syariah,        perusahaan                        reasuransi,   atau

perusahaan reasuransi syariah.

34.  Setiap Orang adalah orang perseorangan atau korporasi.

35.  Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga pengatur dan
       
pengawas sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud
       
dalam undang-undang mengenai otoritas jasa keuangan.

36.  Peraturan  Otoritas  Jasa  Keuangan  adalah  peraturan
       
tertulis yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner Otoritas
        
Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-
       
undang mengenai otoritas jasa keuangan_

37.  Pemerintah adalah pemerintah Republik Indonesia.

38.  Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan urusan
       
pemerintahan di bidang keuangan.

 

 

BAB II

RUANG LINGKUP USAHA PERASURANSIAN

 

Pasal 2

 

( I)    Perusahaan            asuransi         umum                  hanya         dapat

menyelenggarakan:

a. Usaha Asuransi Umum, termasuk lini usaha asuransi
   
kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan diri; dan

b. Usaha Reasuransi untuk risiko Perusahaan Asuransi
   
Umum lain.

(2)    Perusahaan             asuransi         jiwa                          hanya         dapat

menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.

(3)     Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan

Usaha Reasuransi.

 

Pasal 3

 

( I)     Perusahaan   asuransi   umum   syariah   hanya   dapat

menyelenggarakan:

a.  Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini usaha
     
asuransi kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan
      
lini  usaha  asuransi  kecelakaan  diri  berdasarkan
     
Prinsip Syariah; dan

b.  Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko Perusahaan
     
Asuransi Umum Syariah lain.

(2)    Perusahaan        asuransi   jiwa          syariah                hanya          dapat

menyelenggarakan        Usaha                                                    Asuransi                                                    Jiwa                                                    Syariah

termasuk   lini   usaha   anuitas   berdasarkan   Prinsip Syariah,  lini  usaha  asuransi  kesehatan  berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip Syariah.

(3)    Perusahaan           reasuransi         syariah                   hanya         dapat

menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.

 

Pasal 4

 

(1)    Perusahaan            pialang         asuransi                  hanya             dapat

menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.

(2)    Perusahaan           pialang         reasuransi             hanya            dapat

menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.

(3)      Perusahaan  penilai  kerugian  asuransi  hanya  dapat

menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi.

 

Pasal 5

 

(1)      Ruang  lingkup  Usaha  Asuransi  Umum   dan  Usaha

Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat

(1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah dan Usaha  Asuransi  Jiwa  Syariah  sebagaimana  dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan masyarakat.

(2)       Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha

Asuransi  Jiwa,  Usaha  Asuransi  Umum  Syariah,  dan Usaha  Asuransi  Jiwa  Syariah  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hash'. pengelolaan dana.

(3)       Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   perluasan   ruang

lingkup Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum  Syariah,  dan  Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB III

BENTUK BADAN HUKUM DAN KEPEMILIKAN
            
PERUSAHAAN PERASURANSIAN

 

Pasal 6

(1)     Bentuk           badan           hukum         penyelenggara                  Usaha

Perasuransian adalah:

a.  perseroan terbatas;

b.  koperasi; atau

c.  usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-
     
Undang ini diundangkan.

 

(2)    Usaha bersama sebagaimana dimaksud pada ayat        (1)

huruf c dinyatakan sebagai badan hukum berdasarkan

Undang-Undang ini.

(3)    Ketentuan lebih lanjut mengenai badan hukum usaha

bersama  sebagaimana dimaksud  pada ayat                                                              (2) diatur

dalam Peraturan Pemerintah.

 

Pasal 7

 

(1)     Perusahaan Perasuransian hanya dapat dimiliki oleh:

a.  warga  negara  Indonesia  dan/atau  badan  hukum
     
Indonesia yang secara langsung atau tidak langsung
     
sepenuhnya dimililfl  oleh  warga negara Indonesia;
      
atau

b.  warga  negara  Indonesia  dan/atau  badan  hukum
     
Indonesia  sebagaimana  dimaksud  dalam  huruf a,
     
bersama-lama  dengan  warga   negara  asing  atau

badan       hukum   asing   yang                                  harus   merupakan

Perusahaan   Perasuransian   yang   memiliki   usaha

sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak

perusahaannya          bergerak                                                       di                                                       bidang                                                       Usaha

Perasuransian yang sejenis.

(2)    Warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

huruf         b        dapat         menjadi                            pemilik              Perusahaan

Perasuransian hanya melalui transaksi di bursa efek.

(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria badan hukum

asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan   Perasuransian   diatur   dalam   Peraturan Pemerintah.

 

 

BAB IV

PERIZINAN USAHA

 

Pasal 8

 

(1)     Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib

terlebih dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.

 

(2)      Untuk mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:

a.  anggaran dasar;

b.  susunan organisasi;

c.   modal disetor;

d.  Dana Jaminan;

e.  kepemilikan;

1.       kelayakan  dan   kepatutan   pemegang   saham  dan

Pengendali;

g.   kemampuan   dan   kepatutan   direksi   dan   dewan
      
komisaris,  atau  yang  secara  dengan  direksi  dan
       dewan   komisaris  pada  badan  hukum  berbentuk
      
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud

dalam  Pasal     6  ayat     (1) huruf c,  dewan  pengawas

syariah, aktuaris perusahaan, dan auditor internal;

h.  tenaga ahli;

i.     kelayakan rencana kerja;

j.     kelayakan sistem manajemen risiko;

k.    produk yang akan dipasarkan;

1.       perikatan dengan pihak terafiliasi apabila ada dan

kebijakan         pengalihan                                 sebagian                                 fungsi                                 dalam

penyelenggaraan usaha;

m. infrastruktur  penyiapan  dan  penyampaian  laporan.
      
kepada Otoritas Jasa Keuangan;

n.  konfirmasi  dan   otoritas  pengawas  di  negara  asal
       pihak asing, dalam hal terdapat penyertaan langsung
      
pihak asing; clan

o.  hal        lain   yang   diperlukan                   untuk   mendukung

pertumbuhan usaha yang sehat.

(3)      Persyaratan izin usaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) diberlakukan sesuai dengan jenis usaha yang akan dijalankan.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata

cara perizinan usaha sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 9

 

Otoritas   Jasa   Keuangan   menyetujui   atau   menolak permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga  puluh)   hari  kerja  sejak  permohonan diterima secara lengkap.

 

 

(2)    Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan

izin   usaha   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat                                                                         (1),

penolakan   harus   clilakukan   secara   tertulis   dengan disertai alasannya.

 

Pasal 10

 

(1)     Perusahaan   Perasuransian   wajib   melaporkan   setiap

pembukaan  kantor  di  luar  kantor  pusatnya  kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2)     Kantor   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan   Asuransi

Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi syariah di luar kantor pusatnya yang memiliki kewenangan   untuk   membuat   keputusan   mengenai penerimaan  atau  penolakan  pertanggungan  dan/ atau keputusan mengenai penerimaan atau penolakan klaim setiap saat wajib memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.

(3)    Perusahaan            Perasuransian          bertanggung          jawab

sepenuhnya   atas   setiap   kantor  yang   dimiliki  atau dikelolanya atau yang pemilik atau pengelolanya diberi izin menggunakan nama Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan.

(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara

pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB V

PENYELENGGARAAN USAHA

 

Pasal 11

 

(1)     Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola

perusahaan yang baik.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat                                                              (1) diatur  dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

Pasal 12

 

(1)     Anggota direksi,  anggota dewan komisaris,  atau yang

setara  dengan  anggota  direksi   dan   anggota  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  anggota  dewan  pengawas  syariah, aktuaris perusahaan,  auditor internal,  dan  Pengendali setiap  saat  wajib  memenuhi  persyaratan  kemampuan dan kepatutan.

(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara

penilaian   kemampuan   dan   kepatutan   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 13

 

(1)     Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,   atau  perusahaan  reasuransi syariah   wajib   menetapkan   paling   sedikit 1 (satu) Pengendali.

(2)     Dalam   hal   terdapat   Pengendali   lain   yang   belum

ditetapkan   oleh   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan

Asuransi        Syariah,                                  perusahaan  reasuransi,                                  atau

perusahaan reasuransi syariah, Otoritas Jasa Keuangan

berwenang menetapkan  Pengendali  di  luar  Pengendali

sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)    Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  kriteria  Pengendali

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur

dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 14

 

(1)    Setiap   Pihak   yang   ditetapkan   sebagai   Pengendali

sebagaimana dimaksud dalam Pasal                                                                          13 ayat                                                                         (1) wajib

dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2)     Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada Otoritas

Jasa Keuangan.

(3)      Pihak yang telah  ditetapkan  menjadi  Pengendali tidak

dapat berhenti  menjadi  Pengendali tanpa persetujuan dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara

memperoleh  persetujuan  berhenti  sebagai  Pengendali sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (3) diatur  dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 15

 

Pengendali  wajib  ikut  bertanggung  jawab  atas  kerugian

Perusahaan      Asuransi,       Perusahaan                         Asuransi         Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah

yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya.

 

Pasal 16

 

(1)    Setiap  Pihak  hanya  dapat  menjadi  pemegang  saham

pengendali pada      1   (satu) perusahaan asuransi jiwa,  1

(satu) perusahaan asuransi umum,                                                                            1                                                                    (satu) perusahaan

reasuransi,    1  (satu) perusahaan asuransi jiwa syariah,                                  1

(satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan 1 (satu) perusahaan reasuransi syariah.

(2)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat         (1) tidak

berlaku  apabila  pemegang  saham  pengendali  adalah Negara Republik Indonesia.

(3)     Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai   pemegang  saham

pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 17

 

(1)     Perusahaan Perasuransian wajib mempekerjakan tenaga

ahli dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini   usaha  yang  diselenggarakannya,   dalam   rangka memastikan penerapan manajemen asuransi yang balk.

(2)     Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah  wajib  mempekerjakan  aktuaris  dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, untuk secara independen dan sesuai dengan standar praktik yang berlaku mengelola dampak keuangan dan risiko yang dihadapi perusahaan.

(3)     Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  jenis,  jumlah,  dan

persyaratan  tenaga  ahli  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1) dan aktuaris sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 18

 

(1)       Perusahaan Perasuransian dapat bekerja sama dengan

pihak   lain   dalam   rangka   memperoleh   bisnis   atau melaksanakan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya.

(2)      Perusahaan  Perasuransian  wajib  memastikan  bahwa

pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memiliki izin  untuk  menjalankan  usahanya  dari  instansi yang berwenang.

(3)     Perusahaan           Perasuransian         wajib                     memiliki         dan

menerapkan  standar  seleksi  dan  akuntabilitas dalam pelaksanaan  kerja sama sebagaimana dimaksud  pada ayat (1).

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai kerja sama sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 19

 

(1)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,  atau  perusahaan  reasuransi syariah wajib mematuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan.

(2)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,   atau  perusahaan  reasuransi syariah   wajib   melakukan   evaluasi   secara   berkala terhadap kemampuan Dana Asuransi atau Dana Tabarru' untuk memenuhi klaim atau kewajiban lain yang timbul dari polis.

(3)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi syariah wajib merencanakan dan menerapkan  metode mitigasi risiko untuk menjaga kesehatan keuangannya.

 

 (4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan metode mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 20

 

(1)      Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah wajib membentuk Dana Jaminan dalam bentuk dan   jumlah   yang   ditetapkan   oleh   Otoritas   Jasa Keuangan.

(2)      Dana  Jaminan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat           (1)

wajib  disesuaikan  jumlahnya  dengan  perkembangan usaha,   dengan   ketentuan   tidak   kurang   dari   yang dipersyaratkan pada awal pendirian.

 

 

 

(3)   Dana Jaminan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat

dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun.

(4)    Dana Jaminan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat

hanya   dapat   dipindahkan   atau   dicairkan   setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.

(5)    Dana   JaminanKetentuan   lebih   lanjut   mengenai

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan  ayat (4) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa Keuangan.

 

Pasal 21

 

(1)      Kekayaan   dan   kewajiban  yang   terkait  dengan   hak

Pemegang   Polls,   Tertanggung,   atau   Peserta   wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban yang lain dari Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan  reasuransi,   atau  perusahaan  reasuransi syariah.

(2)      Untuk perusahaan asuransi jiwa syariah, kekayaan dan

kewajiban  Peserta  untuk  keperluan  sating  menolong dalam menghadapi risiko wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban Peserta untuk keperluan investasi.

 

 

(3)      Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah  wajib  menerapkan  prinsip  kehati-hatian  dan kesesuaian   antara   kekayaan   dan   kewajiban   dalam

menginvestasikan               kekayaan                                             Pemegang                                             Polis,

Tertanggung, atau Peserta.

(4)      Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan

dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2),  dan   investasi   kekayaan   Pemegang   Polis, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 22

 

(1)      Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan laporan,

informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.

(2)      Penyampaian laporan sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dapat dilakukan melalui sistem data elektronik.

(3)       Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,  atau  perusahaan  reasuransi syariah wajib mengumumkan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan perusahaan

dalam  surat  kabar  harian  berbahasa  Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik.

(4)     Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,   atau  perusahaan  reasuransi syariah wajib  menyediakan  informasi mengenai posisi keuangan, kinerja keuangan dan risiko yang dihadapinya kepada pihak yang berkepentingan  dengan  cara yang

sesuai        dengan        ketentuan                   peraturan    perundang-

undangan.

(5)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah  wajib  mengumumkan  laporan  keuangan  yang telah diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan keuangan tersebut kepada Otoritas Jasa Keuangan.

 

(6)      Ketentuan lebih lanjut mengenai penyampaian laporan

kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada  ayat (3) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 23

 

(1)    Laporan   tertentu   dan   hasil   analisis   atas   laporan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal                                                                         22  ayat                                                                        (1) tidak

dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain, kecuali kepada:

a.  polisi dan jaksa untuk kepentingan penyidikan;

b.  hakim untuk kepentingan peradilan;

c.  pejabat pajak untuk kepentingan perpajakan;

d.  Bank Indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau

e.  pihak   lain           berdasarkan                                    peraturan                                    perundang-

undangan.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara

memperoleh  laporan  tertentu  dan  hasil  analisis  atas laporan  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 24

 

(1)       Penutupan   asuransi   atas           Objek    Asuransi   harus

didasarkan pada asas kebebasan memilih Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

(2)       Penutupan Objek Asuransi sebagaimana dimaksud pada

ayat   (1) harus dilakukan dengan memperhatikan daya tampung  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi

Syariah,       perusahaan                      reasuransi,         dan                      perusahaan

reasuransi syariah di dalam negeri.

(3)       Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   penutupan   Objek

Asuransi  sebagaimana dimaksud  pada ayat                                                                (2)  diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 25

 

Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah yang mendapatkan izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali dalam hal:

a.  tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
     
Syariah di Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun
      
bersama-sama, yang memiliki kemampuan menahan atau
      
mengelola risiko asuransi atau risiko asuransi syariah dari
      
Objek Asuransi yang bersangkutan; atau

b.  tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi
     
Syariah di Indonesia yang bersedia melakukan penutupan
      
asuransi atau asuransi syariah atas Objek Asuransi yang
     
bersangkutan.

 

Pasal 26

 

(1)     Perusahaan   Perasuransian  wajib   memenuhi  standar

perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai:

a.  polls;

b.  Premi atau Kontribusi;

c.  underwriting   dan                                                 pengenalan                                                  Pemegang                                                  Polis,

Tertanggung, atau Peserta;

d.  penyelesaian klaim;

e.   keahlian di bidang perasuransian;

f.  distribusi atau pemasaran produk;

g.   penanganan keluhan Pemegang Polis, Tertanggung,
      
atau Peserta; dan

h.  standar            lain         yang                                  berhubungan                                  dengan

penyelenggaraan usaha.

(2)    Ketentuan lebih lanjut mengenai standar perilaku usaha

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat                                                                             ( I) diatur  dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 27

 

(1)     Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi

wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.

 (2)     Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi

wajib  memilild  pengetahuan   dan   kemampuan  yang cukup serta memiliki reputasi yang baik.

(3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata

cara pendaftaran Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan  ayat (2) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa Keuangan.

 

Pasal 28

 

(1)      Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh

Pemegang   Polls   atau   Peserta   kepada   Perusahaan Asuransi   atau   Perusahaan   Asuransi   Syariah,   atau dibayarkan melalui Agen Asuransi.

(2)      Agen Asuransi hanya dapat menerima pembayaran Premi

atau Kontribusi dari Pemegang Polls atau Peserta setelah mendapatkan  persetujuan  dari  Perusahaan  Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.

(3)      Pertanggungan dinyatakan mulai berlaku dan mengikat

para   Pihak   terhitung   sejak   Premi   atau   Kontribusi diterima oleh Agen Asuransi.

(4)      Agen Asuransi dilarang menahan atau mengelola Premi

atau Kontribusi.

(5)      Agen   Asuransi   dilarang   menggelapkan   Premi   atau

Kontribusi.

(6)      Dalam hal  Premi atau  Kontribusi dibayarkan  melalui

Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Agen Asuransi wajib menyerahkan Premi atau Kontribusi tersebut kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah dalam jangka waktu yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

(7)       Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah

wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi   belum   menyerahkannya   kepada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah tersebut.

 

(8)     Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah

wajib membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada Agen  Asuransi  segera  setelah  menerima  Premi  atau Kontribusi.

 

Pasal 29

 

(1)     Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh

Pemegang   Polls   atau   Peserta   kepada   Perusahaan Asuransi   atau   Perusahaan   Asuransi   Syariah,   atau dibayarkan melalui perusahaan pialang asuransi.

(2)     Premi atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh

Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah

kepada      perusahaan                 reasuransi          atau                    perusahaan

reasuransi syariah, atau dibayarkan melalui perusahaan pialang reasuransi.

(3)     Perusahaan  pialang asuransi dan  perusahaan  pialang

reasuransi dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi.

(4)     Perusahaan  pialang asuransi dan  perusahaan  pialang

reasuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.

(5)     Dalam  hal  Premi  atau  Kontribusi dibayarkan  melalui

perusahaan  pialang  asuransi  sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) atau melalui perusahaan pialang reasuransi sebagaimana   dimaksud   pada   ayat (2),  perusahaan pialang asuransi  atau  perusahaan  pialang  reasuransi wajib   menyerahkan   Premi   atau   Kontribusi   tersebut kepada   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan   Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi  syariah  dalam jangka  waktu  yang  diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

(6)     Dalam hal penyerahan Premi atau Kontribusi dilakukan

oleh   perusahaan  pialang  asuransi  atau   perusahaan pialang  reasuransi  setelah  berakhirnya jangka  waktu sebagaimana   dimaksud   pada   ayat (5),  perusahaan pialang  asuransi  atau  perusahaan  pialang  reasuransi wajib bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul dari  kerugian yang terjadi setelah berakhirnya

jangka waktu tersebut.

 (7)      Perusahaan  pialang asuransi  dan  perusahaan  pialang

reasuransi  mendapatkan  imbalan  jasa  keperantaraan dari Pemegang Polis atas jasa keperantaraannya.

 

 

Pasal 30

 

(1)     Perusahaan  pialang  asuransi  dilarang  menempatkan

penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi atau  Perusahaan Asuransi Syariah yang merupakan Afiliasi dari Pialang Asuransi

atau perusahaan pialang asuransi yang bersangkutan.

(2)      Perusahaan pialang reasuransi dilarang menempatkan

penutupan   reasuransi   atau   penutupan   reasuransi syariah pada perusahaan  reasuransi atau  perusahaan reasuransi syariah yang merupakan Afiliasi dari Pialang Reasuransi  atau  perusahaan  pialang  reasuransi yang bersangkutan.

(3)      Perusahaan  pialang asuransi dan  perusahaan  pialang

reasuransi  bertanggung jawab  atas  tindakan  Pialang Asuransi  dan   Pialang  Reasuransi  yang  memberikan rekomendasi kepada Pemegang Polis terkait penutupan asuransi atau penutupan reasuransi.

 

 

Pasal 31

(1)     Agen  Asuransi,  Pialang Asuransi,  Pialang  Reasuransi,

dan   Perusahaan   Perasuransian   wajib   menerapkan segenap  keahlian,  perhatian,  dan  kecermatan  dalam melayani  atau  bertransaksi  dengan  Pemegang  Polis, Tertanggung, atau Peserta.

(2)      Agen  Asuransi,  Pialang Asuransi,  Pialang Reasuransi,

dan   Perusahaan   Perasuransian   wajib   memberikan informasi  yang  benar,   tidak  palsu,   dan /atau  tidak menyesatkan kepada Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta   mengenai   risiko,   manfaat,   kewajiban   dan pembebanan biaya terkait dengan produk asuransi atau produk asuransi syariah yang ditawarkan.

 

 

 

(3)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan reasuransi, perusahaan reasuransi syariah, perusahaan pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi wajib menangani klaim dan keluhan melalui

proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil.

(4)      Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah   dilarang   melakukan   tindakan   yang   dapat memperlambat  penyelesaian  atau  pembayaran  klaim, atau   tidak   melakukan   tindakan   yang   seharusnya

dilakukan          sehingga                            mengakibatkan                            kelambatan

penyelesaian atau pembayaran klaim.

(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan klaim dan

keluhan melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 32

 

(1)    Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan

perusahaan         pialang        asuransi                                       wajib                                       menerapkan

kebijakan       anti   pencucian                                  uang   dan                                  pencegahan

pendanaan terorisme.

(2)    Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan

perusahaan         pialang       asuransi                                      wajib                                      mendapatkan

informasi yang cukup mengenai calon Pemegang Polls, Tertanggung,   Peserta,   atau   pihak  lain  yang  terkait dengan penutupan asuransi atau asuransi syariah untuk

dapat menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.

(3)      Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan kebijakan

anti   pencucian   uang   dan   pencegahan   pendanaan

terorisme       bagi      Perusahaan                        Asuransi,                        Perusahaan

Asuransi  Syariah,  dan  perusahaan  pialang  asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 33

 

Setiap Orang dilarang melakukan pemalsuan atas dokumen

Perusahaan         Asuransi,        Perusahaan                             Asuransi         Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.

 

Pasal 34

 

Anggota       direksi       dan/atau                    pihak         yang                        berwenang

menandatangani   polis   dari   Perusahaan   Asuransi   atau

Perusahaan.        Asuransi        Syariah                              yang               dikenai                              sanksi

pembatasan kegiatan usaha dilarang menandatangani polis baru.

 

 

BAB VI

TATA KELOLA USAHA PERASURANSIAN

BERBENTUK KOPERASI DAN USAHA BERSAMA

 

Pasal 35

 

(1)     Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah

berbentuk  koperasi  atau  usaha bersama  sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan  jasa  asuransi  atau  jasa  asuransi syariah bagi anggotanya.

(2)    Setiap       anggota        dari         Perusahaan                   Asuransi         dan

Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari perusahaan yang bersangkutan.

(3)     Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan

Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 ayat (1) huruf c berakhir apabila:

a.  anggota meninggal dunia;

b.  anggota   tidak  lagi  memiliki   polis  asuransi  dari
     
Perusahaan   Asuransi  atau   Perusahaan   Asuransi
     
Syariah yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan
      
berturut-turut; atau

c.   sesuai   dengan   ketentuan   peraturan   perundang-
      
undangan, keanggotaan harus berakhir.

 

 (4)    Anggota  dari  Perusahaan  Asuransi  dan   Perusahaan

Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh kerugian dari kegiatan usaha

sesuai        dengan       ketentuan                   peraturan   perundang-

undangan.

(5)     Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan

untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) dan  ayat    (2)    serta  pemanfaatan  keuntungan  oleh anggota dan  pembebanan kerugian  di  antara anggota sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB VII

PENINGKATAN KAPASITAS ASURANSI, ASURANSI SYARIAH, REASURANSI,
                             
DAN REASURANSI SYARIAH DALAM NEGERI

 

 

Pasal 36

 

Perusahaan       Asuransi,       Perusahaan                               Asuransi        Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah wajib   mengoptimalkan   pemanfaatan   kapasitas   asuransi, asuransi  syariah,  reasuransi,  dan/atau  reasuransi  syariah dalam negeri.

 

 

Pasal 37

 

Pemerintah  dan/atau  Otoritas Jasa  Keuangan  mendorong peningkatan kapasitas asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri guna memenuhi kebutuhan   pertanggungan   asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi syariah dalam negeri.

 

Pasal 38

 

Pemerintah   dapat   memberikan   fasilitas   fiskal   kepada perseorangan, rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong pemanfaatan jasa asuransi, asuransi  syariah,  reasuransi,  dan/atau  reasuransi  syariah dalam pengelolaan risiko sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

 

 

BAB VIII

PROGRAM ASURANSI WAJIB

 

Pasal 39

 

(1)      Program Asuransi Wajib harus diselenggarakan secara

kompetitif.

(2)      Pengaturan   Program   Asuransi   Wajib          sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:

a.  cakupan kepesertaan;

b.  hak dan kewajiban Tertanggung atau Peserta;

c.  Premi atau Kontribusi;

d.  manfaat atau santunan;

e.   tata  cara  klaim  dan  pembayaran   manfaat  atau
      
santunan;

f.  kriteria penyelenggara;

g.   hak dan kewajiban penyelenggara; dan

h.  keterbukaan informasi.

(3)    Pihak yang dapat menyelenggarakan Program Asuransi

Wajib   sebagaimana  dimaksud   pada  ayat                                                                        (1)                                                                    harus

memenuhi  persyaratan yang ditetapkan  Otoritas Jasa

Keuangan.

(4)    Penyelenggara  Program  Asuransi  Wajib  sebagaimana

dimaksud  pada  ayat         (3) dapat  menawarkan  manfaat

tambahan dengan tambahan Premi atau Kontribusi.

(5)     Penyelenggara   Program  Asuransi  Wajib  sebagaimana

dimaksud  pada ayat        (3)  dilarang memaksa  Pemegang Polis   untuk   menerima   tawaran   manfaat  tambahan sebagaimana dimaksud pada ayat (4).

 

BAB IX

PERUBAHAN KEPEMILIKAN, PENGGABUNGAN, DAN PELEBURAN

 

Pasal 40

 

(1)     Setiap             perubahan         kepemilikan  Perusahaan

Perasuransian        wajib      terlebih                                           dahulu                                                    memperoleh

persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.

(2)     Dalam       hal       perubahan          kepemilikan         sebagaimana

dimaksud        pada       ayat       (1)                                   merupakan                                   perubahan

kepemilikan           yang                                          mengakibatkan                                          terdapatnya

penyertaan   langsung   oleh   pihak   asing   di   dalam Perusahaan Perasuransian, pihak asing tersebut harus merupakan  Perusahaan  Perasuransian  yang  memiliki usaha sejenis atau perusahaan induk yang salah satu

anak       perusahaannya        bergerak               di                                 bidang               Usaha

Perasuransian yang sejenis.

(3)     Ketentuan  mengenai  Perusahaan  Perasuransian  yang

memiliki  usaha  sejenis  atau  kepemilikan  perusahaan induk atas anak perusahaan yang bergerak di bidang

Usaha        Perasuransian         yang                   sejenis                   sebagaimana

dimaksud  pada  ayat     (2)  wajib  tetap  dipenuhi  selama

pihak       asing       tersebut                 memiliki                 penyertaan                  pada

Perusahaan Perasuransian.

(4)    Peru bahan       kepemilikan          Perusahaan       Perasuransian

melalui   transaksi   di   bursa   efek   dikecualikan   dari

ketentuan        sebagaimana   dimaksud        pada                         ayat                         (1)

sepanjang tidak menyebabkan perubahan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian tersebut.

(5)     Untuk memperoleh persetujuan, perubahan kepemilikan

Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:

a.  perubahan  kepemilikan  tersebut  tidak  mengurangi
      
hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi
      
Perusahaan   Asuransi   atau   Perusahaan   Asuransi
      
Syariah; dan

b.  perubahan  kepemilikan  tersebut  tidak  mengurangi
      
hak penanggung, penanggung ulang, atau pengelola,

bagi     perusahaan                reasuransi,        atau                perusahaan

reasuransi syariah.

 

 (6)   Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tata   cara   dan

persyaratan       perubahan                                  kepemilikan                                  Perusahaan

Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat

(2), ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 41

 

 

(1)     Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan  reasuransi,   atau   perusahaan  reasuransi syariah yang melakukan penggabungan atau peleburan wajib  terlebih  dahulu  memperoleh  persetujuan  dari Otoritas Jasa Keuangan.

(2)     Penggabungan  atau  peleburan  sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) hanya dapat dilakukan antar Perusahaan Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,   perusahaan reasuransi,  atau  perusahaan  reasuransi  syariah yang bidang usahanya sejenis.

(3)     Untuk  memperoleh   persetujuan,  penggabungan  atau

peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:

a.  penggabungan         atau                                          peleburan                                          tersebut                                          tidak

mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta,   bagi   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan Asuransi   Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau perusahaan reasuransi syariah; dan

b.  kondisi keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
      Asuransi   Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau
     
perusahaan reasuransi syariah hasil penggabungan
     
atau   peleburan   tersebut  harus   tetap   memenuhi
     
ketentuan tingkat kesehatan keuangan.

(4)     Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai  penggabungan  atau

peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan  ayat (3) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa Keuangan.

 

BAB X

PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN

 

Pasal 42

 

(1)      Perusahaan Perasuransian yang menghentikan kegiatan

usahanya  wajib  terlebih  dahulu  melaporkan  rencana penghentian   kegiatan   usaha   kepada   Otoritas   Jasa Keuangan.

(2)    Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada

ayat    (1) wajib  terlebih  dahulu  menyelesaikan  seluruh

kewajibannya.

(3)    Dalam   hal   Perusahaan   Perasuransian   sebagaimana

dimaksud  pada  ayat        (1) telah  menyelesaikan  seluruh

kewajibannya,  Otoritas Jasa  Keuangan  mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan.

(4)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian kegiatan

usaha   sebagaimana   dimaksud   pada   ayat                                                                         (1)                                                                       dan

penyelesaian        kewajiban                                        Perusahaan                                        Perasuransian

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat                                                                         (2) diatur  dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 43

 

(1)      Perusahaan Perasuransian yang dicabut izin usahanya

wajib menghentikan kegiatan usahanya.

(2)     Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang

setara  dengan  pemegang  saham,  direksi,  dan  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dan  pegawai  Perusahaan  Asuransi, Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan  reasuransi,

atau         perusahaan           reasuransi                 syariah                  dilarang

mengalihkan,          menjaminkan,                                  mengagunkan,                                  atau

menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi

syariah sejak dicabut izin usahanya.

 

Pasal 44

 

(1)       Paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dicabutnya

izin usaha, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi  syariah yang dicabut izin  usahanya wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c

untuk         memutuskan                  pembubaran          badan                  hukum

perusahaan  yang  bersangkutan  dan  membentuk  tim likuidasi.

(2)      Apabila  dalam jangka  waktu  sebagaimana  dimaksud

pada ayat (1) rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham pada badan hukum   berbentuk   koperasi   atau   usaha   bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c tidak dapat diselenggarakan atau rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat    ( I) huruf c  dapat  diselenggarakan,  tetapi  tidak

berhasil   memutuskan   pembubaran                                                          badan   hukum

perusahaan dan tidak berhasil membentuk tim likuidasi, Otoritas Jasa Keuangan:

a.  memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan
      
dan membentuk tim likuidasi;

b.  mendaftarkan   dan   memberitahukan   pembubaran
      
badan  hukum  perusahaan  kepada  instansi  yang
      
berwenang,  serta  mengumumkannya  dalam  Berita
      
Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar
      
harian yang mempunyai peredaran yang luas;

c.  memerintahkan tim likuidasi melaksanakan likuidasi
      
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan

d.  memerintahkan   tim   likuidasi   melaporkan   hasil
      
pelaksanaan likuidasi.

(3)      Ketentuan   lebih   lanjut  mengenai   pembentukan   tim

likuidasi dan pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi oleh tim likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 45

 

(1)     Sejak terbentuknya tim likuidasi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), tanggung jawab dan

kepengurusan          Perusahaan                                   Asuransi,                                   Perusahaan

Asuransi        Syariah,        perusahaan                        reasuransi,   atau

perusahaan         reasuransi                              syariah                              dalam                              ilkuidasi

dilaksanakan oleh tim likuidasi.

(2)     Tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi,

Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan reasuransi, atau  perusahaan  reasuransi  syariah  dalam  likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak  dan kewajiban  Perusahaan Asuransi,  Perusahaan

Asuransi        Syariah,        perusahaan                        reasuransi,   atau

perusahaan reasuransi syariah.

(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan  reasuransi,  atau  perusahaan  reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 46

 

(1)     Sejak  terbentuknya  tim  likuidasi,  direksi  dan  dewan

komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat     (1) huruf  c,  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan

Asuransi      Syariah,                        perusahaan reasuransi,                        atau

perusahaan  reasuransi  syariah  dalam  likuidasi  tidak memiliki   kewenangan   sebagai   direksi   dan   dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6

ayat   (1) huruf  c,  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan

Asuransi      Syariah,                        perusahaan reasuransi,                        atau

perusahaan reasuransi syariah.

 

(2)       Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang

setara  dengan  pemegang  saham,  direksi,  dan  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dan  pegawai  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,  perusahaan reasuransi, atau  perusahaan  reasuransi  syariah  dalam  likuidasi wajib memberikan data, informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh tim likuidasi.

 

(3)     Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang

setara  dengan  pemegang  saham,  direksi,  dan  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dan  pegawai  Perusahaan  Asuransi, Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan reasuransi, atau  perusahaan  reasuransi  syariah  dalam  likuidasi dilarang menghambat proses likuidasi.

 

 

Pasal 47

 

(1)      Seluruh  biaya  pelaksanaan  likuidasi  yang  tercantum

dalam   daftar   biaya   likuidasi   menjadi   beban   aset Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan  reasuransi syariah dalam likuidasi dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil pencairannya.

 

(2)    Dalam hal terdapat sisa hasil likuidasi setelah dilakukan

pembayaran         atas       seluruh                                        kewajiban                                        Perusahaan

Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,                                                          perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi, sisa hasil likuidasi tersebut merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.

Pasal 48

 

(1)     Dalam  hal  terdapat  sisa  hasil  likuidasi  sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), tagihan yang timbul dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak proses likuidasi selesai diajukan melalui Otoritas Jasa Keuangan kepada pemegang saham atau yang  setara dengan  pemegang saham  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.

(2)    Tagihan        sebagaimana         dimaksud     pada                       ayat         (1)

dibebankan pada sisa hasil likuidasi yang merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.

 

 

Pasal 49

 

(1)     Tim likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam

melaksanakan tugasnya.

(2)    Dalam      hal       terjadi       benturan         kepentingan        antara

kepentingan pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6  ayat    (1) huruf c  dan  kepentingan  Pemegang Polls,

Tertanggung,        atau        Peserta,                                tim         likuidasi                                harus

mengutamakan             kepentingan                                         Pemegang                                         Polis,

Tertanggung, atau Peserta.

 

 

Pasal 50

 

(1)     Permohonan   pernyataan   pailit  terhadap   Perusahaan

Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan

reasuransi,        atau        perusahaan                            reasuransi                            syariah

berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

(2)      Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan pailit

terhadap  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan          sesuai        dengan                                     ketentuan  peraturan

perundang-undangan.

(3)     Permohonan  pernyataan   pailit  terhadap   Perusahaan

Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah,   perusahaan

reasuransi,         atau        perusahaan                                reasuransi                                      syariah

sebagaimana  dimaksud   pada   ayat                                                               (1)                                                                     tidak   dapat

diajukan         dalam        rangka                                  mengeksekusi                                  putusan

pengadilan.

 

Pasal 51

 

(1)     Kreditor  menyampaikan  permohonan  kepada  Otoritas

Jasa      Keuangan         untuk                         mengajukan     permohonan

pernyataan pailit kepada pengadilan niaga.

(2)     Otoritas   Jasa   Keuangan   menyetujui   atau   menolak

permohonan           yang                                          disampaikan                                          oleh          kreditor

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara lengkap.

(3)     Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan

yang disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara tertulis dengan disertai alasannya.

(4)      Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   tata   cara   dan

persyaratan   permohonan   dan   kreditor   sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),  dan ayat (3)  diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 52

 

(1)       Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi

Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi   syariah  dipailitkan  atau  dilikuidasi,   hak

Pemegang       Polis,      Tertanggung,                         atau         Peserta   atas

pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.

 

(2)      Dalam   hal   Perusahaan   Asuransi   atau   perusahaan

reasuransi dipailitkan atau dilikuidasi,  Dana Asuransi hams  digunakan  terlebih  dahulu   untuk  memenuhi kewajiban  kepada Pemegang  Polis,  Tertanggung,  atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.

(3)      Dalam hal terdapat kelebihan  Dana Asuransi setelah

pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat

(2), kelebihan Dana Asuransi tersebut dapat digunakan untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang  Polis,  Tertanggung,  atau  pihak  lain  yang berhak atas manfaat asuransi.

(4)    Dalam       hal       Perusahaan         Asuransi   Syariah                            atau

perusahaan          reasuransi                                       syariah                                       dipailitkan         atau

dilikuidasi,  Dana  Tabarru' dan  dana investasi peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban selain kepada Peserta.

 

 

BAB XI

PELINDUNGAN PEMEGANG POLIS, TERTANGGUNG,
                                    
ATAU PESERTA

 

 

Pasal 53

 

(1)      Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah

wajib menjadi peserta program penjaminan polis.

(2)     Penyelenggaraan program penjaminan polis sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.

(3)    Pada       saat        program          penjaminan          polis               berlaku

berdasarkan   undang-undang   sebagaimana   dimaksud

pada  ayat        (2), ketentuan  mengenai   Dana  Jaminan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d

dan       Pasal      20      dinyatakan                      tidak       berlaku                      untuk

Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah.

(4)    Undang-undang  sebagaimana  dimaksud  pada ayat         (2)

dibentuk  paling  lama         3    (tiga)  tahun  sejak  Undang-

Undang ini diundangkan.

 

Pasal 54

 

(I)     Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,

perusahaan   reasuransi,   dan   perusahaan   reasuransi syariah  wajib  menjadi  anggota  lembaga  mediasi yang berfungsi   melakukan   penyelesaian   sengketa   antara

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan   reasuransi,   atau  perusahaan  reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau

pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.

(2)      Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

bersifat independen dan imparsial.

(3)      Lembaga mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

harus mendapat persetujuan tertulis dan  Otoritas Jasa. Keuangan.

(4)       Kesepakatan mediasi bersifat final dan mengikat bagi

pares Pihak.

(5)       Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   lembaga   mediasi

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan  ayat (4) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa Keuangan.

 

 

BAB XII

PROFESI PENYEDIA JASA BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN

 

Pasal 55

 

(1)      Profesi  penyedia jasa  bagi  Perusahaan  Perasuransian

terdiri atas:

a.  konsultan aktuaria;

b.  akuntan publik;

c.   penilai; dan

d.  profesi   lain   yang   ditetapkan   dengan   Peraturan
      
Otoritas Jasa Keuangan.

(2)      Untuk   dapat   menyediakan   jasa   bagi   Perusahaan

Perasuransian,   profesi   penyedia   jasa   sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

(3)     Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan testa

cara  pendaftaran  profesi  penyedia  jasa  sebagaimana dimaksud  pada  ayat (1) dan  ayat (2) diatur  dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 56

 

(1)     Pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi batal apabila izin profesi

yang       bersangkutan        dicabut                         oleh                          instansi                         yang

berwenang.

(2)    Jasa dan  profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud

pada  ayat     (1) yang  diberikan  sebelum  dibatalkannya

pendaftaran  pmfesi  dinyatakan  tetap  berlaku,  kecuali apabila   jasa   yang   diberikan   tersebut   merupakan penyebab  dibatalkannya  pendaftaran  atau  dicabutnya izin profesi yang bersangkutan.

(3)     Dalam  hal  pendaftaran profesi  penyedia jasa menjadi

batal sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan atau penilaian atas  jasa  lain  yang  diberikan  profesi  penyedia jasa tersebut   kepada   Perusahaan   Perasuransian   untuk menentukan berlaku atau tidak berlakunya jasa tersebut.

(4)    Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan memutuskan bahwa

jasa   yang   diberikan   oleh                                                                 profesi   penyedia   jasa

sebagaimana  dimaksud  pada                                                             ayat                                                                         (3) tidak  berlaku,

Otoritas        Jasa       Keuangan                           dapat     memerintahkan

Perusahaan   Perasuransian   yang   menggunakan  jasa profesi penyedia jasa tersebut untuk menunjuk profesi penyedia lain untuk melakukan kembali jasa yang sama.

 

 

BAB XIII

PENGATURAN DAN PENGAWASAN

 

Pasal 57

 

(1)    Pengaturan          dan         pengawasan         kegiatan               Usaha

Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

(2)     Menteri  menetapkan  kebijakan  umum  dalam  rangka

pengembangan  pemanfaatan  asuransi  dan  reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional.

 

Pasal 58

 

Otoritas  Jasa  Keuangan  harus  mengupayakan  terciptanya persaingan usaha yang sehat di bidang Usaha Perasuransian.

 

Pasal 59

 

(1)     Otoritas   Jasa   Keuangan   dapat   menugaskan   pihak

tertentu untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan  sebagian  dari  fungsi  pengaturan  dan pengawasan.

(2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan

dan   pelaksanaan   sebagian   fungsi   pengaturan   dan pengawasan oleh pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada  ayat (1) diatur  dalam  Peraturan  Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 60

 

(1)     Dalam        rangka        pelaksanaan           fungsi        pengaturan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa   Keuangan   menetapkan   peraturan   perundangundangan di bidang perasuransian.

(2)    Dalam       rangka        pelaksanaan          fungsi        pengawasan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:

a.  menyetujui  atau  menolak  memberikan  izin  Usaha
      
Perasuransian;

b.  mencabut izin Usaha Perasuransian;

c.  menyetujui  atau  menolak  memberikan  pernyataan
     
pendaftaran bagi konsultan aktuaria, akuntan publik,
      
penilai, atau pihak lain yang memberikan jasa kepada
      
Perusahaan Perasuransian;

d.  membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan
      
aktuaria,  akuntan  publik,  penilai,  atau  pihak  lain

yang        memberikan        jasa                 kepada                 Perusahaan

Perasuransian;

 

e.   mewajibkan                                               Perusahaan                                          Perasuransian

menyampaikan laporan secara berkala;

f.     melakukan        pemeriksaan       terhadap             Peru sahaan

Perasuransian  dan  pihak  lain  yang  sedang  atau

pernah  menjadi pihak terafiliasi atau memberikan

jasa kepada Perusahaan Perasuransian;

g.   menetapkan  Pengendali  dan  Perusahaan Asuransi,

Perusahaan           Asuransi                                       Syariah,                                       perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;

h.  menyetujui atau mencabut persetujuan suatu Pihak

menjadi           Pengendali                                Perusahaan                                Asuransi,

Perusahaan           Asuransi                                       Syariah,                                       perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;

i.     mewajibkan  suatu  Pihak  untuk  berhenti  menjadi

Pengendali  dan   Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan Asuransi   Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau perusahaan reasuransi syariah;

j.     melakukan  penilaian  kemampuan  dan  kepatutan

terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan  direksi  dan  dewan  komisaris pada  badan hukum  berbentuk  koperasi  atau  usaha  bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dewan  pengawas  syariah,  aktuaris perusahaan, auditor internal, dan Pengendali;

k.  menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau yang
     
setara  dengan  direksi  dan  dewan  komisaris  pada
      
badan   hukum   berbentuk   koperasi   atau   usaha
     
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan Pengelola Statuter;

1.      memberi perintah tertulis kepada:

1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai

hal          tertentu,           atas               biaya               Perusahaan

Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;

 

2. Perusahaan         Asuransi,                                     Perusahaan                                     Asuransi

Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio pertanggungannya kepada

Perusahaan         Asuransi,                             Perusahaan                             Asuransi

Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain;

3.    Perusahaan Perasuransian untuk melakukan atau

tidak  melakukan  hal  tertentu  guna  memenuhi ketentuan   peraturan   perundang-undangan   di bidang perasuransian;

4.  Perusahaan  Perasuransian  untuk  memperbaiki

atau       menyempurnakan              sistem              pengendalian

intern  untuk mengidentifikasi  dan  menghindari pemanfaatan  Perusahaan  Perasuransian  untuk kejahatan keuangan;

5.  Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
      
Syariah untuk menghentikan pemasaran produk
      
asuransi tertentu; dan

6.    Perusahaan Perasuransian untuk menggantikan

seseorang dari jabatan atau posisi tertentu, atau menunjuk seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk menempati jabatan  atau  posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak kompeten, tidak

memenuhi             kualifikasi                               tertentu,                               tidak

berpengalaman,   atau   melakukan   pelanggaran

terhadap         ketentuan                        peraturan                        perundang-

undangan di bidang perasuransian;

m. mengenakan               sanksi                                           kepada                                           Perusahaan

Perasuransian,   pemegang   saham,   direksi,   dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang saham, direksi,  dan  dewan  komisaris  pada  badan  hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 6  ayat (1) huruf c,  dewan pengawas  syariah,  aktuaris  perusahaan,  dan/atau auditor internal; dan

n.  melaksanakan            kewenangan                                           lain                                           berdasarkan

peraturan perundang- undangan.

 

Pasal 61

 

(1)      Pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat

(2) huruf f dilakukan secara berkala dan /atau sewaktuwaktu.

(2)      Otoritas Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain

untuk   dan   atas   nama   Otoritas   Jasa   Keuangan melakukan  pemeriksaan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (1).

 

(3)      Untuk  tujuan  pemeriksaan,  anggota  direksi,  anggota

dewan  komisaris,  atau  yang  setara  dengan  anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau  usaha bersama sebagaimana dimaksud  dalam   Pasal 6  ayat (1) huruf  c,   dewan pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, pegawai   lain,   pemegang   saham,   Pengendali,   pihak terafiliasi, dan pihak yang menerima pengalihan sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian wajib memberikan keterangan dan/atau   data,   kesempatan   untuk   melihat   semua pembukuan, catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan usahanya dan hal lain yang diperlukan oleh pemeriksa.

(4)       Untuk tujuan pemeriksaan, pihak yang pernah menjadi

anggota direksi,  anggota dewan  komisaris,  atau yang setara  dengan   anggota  direksi   dan  anggota  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dewan  pengawas  syariah,  aktuaris perusahaan,  auditor  internal,  pegawai  lain,  pemegang saham,  Pengendali,  pihak  terafiliasi,  dan  pihak yang

menerima           pengalihan                            sebagian               fungsi                            dalam

penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian, wajib memberikan keterangan dan/atau data,  kesempatan  untuk  melihat  semua  pembukuan, catatan,  dokumen,  dan  sarana  fisik  yang  berkaitan dengan kegiatan Usaha Perasuransian yang diperlukan oleh pemeriksa.

 

(5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara

pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) serta kriteria dan tata cara penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 62

 

(1)      Otoritas Jasa Keuangan dapat menonaktifkan direksi,

dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal

6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, serta menetapkan Pengelola Statuter untuk mengambil alih  kepengurusan  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan

Asuransi        Syariah,        perusahaan                        reasuransi,    atau

perusahaan reasuransi syariah, dalam hal:

a.  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
      
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
      
syariah  tersebut  telah  dikenai  sanksi  pembatasan
      
kegiatan usaha;

b.  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
      
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
      
syariah   tersebut   memberikan   informasi   kepada

Otoritas         Jasa          Keuangan                        bahwa      menurut

pertimbangannya   perusahaan   diperkirakan   tidak

mampu        memenuhi                      kewajibannya   atau                      akan

menghentikan   pelunasan   kewajiban                                                     yang   jatuh

tempo;

c.   menurut   pertimbangan   Otoritas  Jasa   Keuangan,
       Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
      
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi

syariah        tersebut                     diperkirakan                     tidak              mampu

memenuhi   kewajiban   atau   akan   menghentikan pelunasan kewajiban yang jatuh tempo;

d.  menurut   pertimbangan   Otoritas   Jasa   Keuangan,
       Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
      
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
      
syariah  tersebut  melakukan  kegiatan  usaha  yang
      
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
      
undangan   di   bidang  perasuransian   atau   secara
      
finansial dinilai tidak sehat; atau

 

e.  menurut   pertimbangan   Otoritas  Jasa   Keuangan,
      Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
     
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
     
syariah tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi
     
dan/atau melakukan kejahatan keuangan.

(2)     Pengelola Statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas

Jasa Keuangan mempunyai tugas:

a.  menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana
     
peserta Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
      Syariah,  perusahaan  reasuransi,  atau  perusahaan
     
reasuransi syariah;

b.  mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha dari
     
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
     
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
     
syariah sesuai dengan Undang-Undang ini;

c.   menyusun   langkah-langkah   apabila   Perusahaan
     
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
     
reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi   syariah
     
tersebut masih dapat diselamatkan;

d.  mengajukan  usulan  agar  Otoritas  Jasa  Keuangan

mencabut        izin       usaha                          Perusahaan                          Asuransi,

Perusahaan           Asuransi                                Syariah,                                perusahaan

reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi   syariah apabila   perusahaan  tersebut  dinilai   tidak  dapat diselamatkan; dan

e.   melaporkan       kegiatannya   kepada   Otoritas   Jasa

Keuangan.

(3)    Pada       saat       Pengelola       Statuter          mulai     melakukan

pengambilalihan  kepengurusan  Perusahaan  Asuransi, Perusahaan Asuransi  Syariah,  perusahaan  reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, maka:

a.  direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
     
direksi  dan  dewan  komisaris  pada  badan  hukum
     
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
      
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
     
dewan  pengawas  syariah  tidak  dapat  melakukan
     
tindakan selaku direksi, dewan komisaris, atau yang
       setara  dengan  direksi  dan  dewan  komisaris  pada
      
badan   hukum   berbentuk   koperasi   atau   usaha
     
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah; dan

b.  direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
     
direksi  dan  dewan  komisaris pada  badan  hukum
     
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
      
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
     
dewan pengawas syariah nonaktif wajib membantu

Pengelola      Statuter        dalam                                         menjalankan                                         fungsi

kepenguru san.

(4)    Direksi,  dewan  komisaris,  atau  yang  setara  dengan

direksi   dan   dewan   komisaris   pada   badan   hukum

berbentuk koperasi atau  usaha bersama sebagaimana

dimaksud  dalam  Pasal      6  ayat                                                            (1) huruf c,  dan/atau

dewan          pengawas          syariah                               nonaktif             dilarang

mengundurkan din selama fungsi kepengurusan diambil

alih oleh Pengelola Statuter.

(5)    Otoritas         Jasa         Keuangan         setiap             saat          dapat

memberhentikan Pengelola Statuter.

(6)    Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan, tugas, masa

tugas,         dan         pemberhentian                             Pengelola                             Statuter

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat

(5)  serta hak dan kewajiban direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau  usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  dan/atau  dewan  pengawas  syariah  nonaktif sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 63

 

(1)     Pengelola Statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib

mematuhi  peraturan  perundang-undangan  di  bidang perasuransian.

(2)     Pengelola   Statuter   wajib   mematuhi   setiap   perintah

tertulis       dari       Otoritas       Jasa                    Keuangan                    mengenai

pengendalian   dan   pengelolaan                                                     kegiatan   usaha   dari

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi syariah.

 

(3)     Pengelola  Statuter  mengambil  alih  pengendalian  dan

pengelolaan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi  syariah  sejak  tanggal  penetapan  sebagai Pengelola Statuter.

(4)     Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan fungsi

direksi,  dewan  komisaris,  atau  yang  setara  dengan direksi   dan   dewan   komisaris   pada   badan   hukum berbentuk koperasi atau  usaha bersama sebagaimana dimaksud  dalam  Pasal 6  ayat (1) huruf c,  dan/atau dewan  pengawas  syariah  dari  Perusahaan  Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan  reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.

(5)     Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),

Pengelola Statuter juga memiliki kewenangan:

a.  membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang dibuat
      
oleh   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan   Asuransi
      
Syariah,  perusahaan  reasuransi,  atau  perusahaan
     
reasuransi   syariah   dengan   pihak   ketiga,   yang

menurut        Pengelola                              Statuter          dapat                              merugikan

kepentingan        perusahaan                                     dan                                     Pemegang                                     Polis,

Tertanggung, atau Peserta; dan

b.  melakukan         pengalihan                                   sebagian                                   atau                                   seluruh

portofolio      pertanggungan                               Peru sahaan                               Asuransi,

Perusahaan            Asuransi                                       Syariah,                                       perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah, yang menurut Pengelola Statuter dapat mencegah kerugian lebih besar bagi Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.

 

Pasal 64

 

Pengelola      Statuter    bertanggung   jawab             atas                        kerugian

Perusahaan        Asuransi,        Perusahaan                             Asuransi         Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut disebabkan oleh kecurangan,   ketidakjujuran,   atau   kesengajaannya  untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan di bidang perasuransian.

Pasal 65

 

(1)      Pengendalian  dan  pengelolaan  Perusahaan  Asuransi,

Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan reasuransi, atau   perusahaan   reasuransi   syariah   oleh   Pengelola Statuter   berakhir   apabila   Otoritas   Jasa   Keuangan memutuskan:

a.  pengendalian dan pengelolaan Perusahaan Asuransi,

Peru sahaan           Asuransi                                Syariah,                                perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau

b.  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
      
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
      
syariah telah dicabut izin usahanya.

(2)    Pengelola       Statuter    wajib         mempertanggungjawabkan

segala keputusan dan tindakannya dalam mengendalikan

dan       mengelola   Perusahaan                      Asuransi,                      Perusahaan

Asuransi        Syariah,        perusahaan                                 reasuransi,    atau

perusahaan  reasuransi  syariah  kepada  Otoritas  Jasa

Keuangan.

 

 

Pasal 66

 

(1)    Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60

ayat    (2)   hung  1  diberikan  dalam  hal  Otoritas  Jasa

Keuangan           berkesimpulan                                       bahwa                                       Perusahaan

Perasuransian:

a.  menjalankan kegiatan usahanya dengan cara tidak
      
hati-hati dan tidak wajar atau  tidak sehat secara
     
finansial;

b.  diperkirakan  akan  mengalami  keadaan  keuangan
       yang   tidak   sehat   atau   akan   gagal   memenuhi
      
kewajibannya;

c.  melanggar peraturan perundang-undangan di bidang
      
perasuransian; dan/atau

d.  terlibat kejahatan keuangan.

(2)     Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat         (1)

juga dapat diberikan kepada Pengendali dari Perusahaan Asuransi,  Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.

 

(3)     Perusahaan  Perasuransian  dan/atau  Pengendali  dari

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan  reasuransi,   atau   perusahaan  reasuransi syariah wajib mematuhi perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2).

(4)    Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat         (1)

dan ayat (2) tidak dapat dijadikan alasan oleh pihak yang

melakukan perjanjian dengan Perusahaan Perasuransian

untuk         membatalkan         atau                             menolak                             perjanjian,

menghindari   kewajiban      yang   ditentukan   di   dalam

perjanjian,  atau  melakukan  hal  apa  pun  yang  dapat mengakibatkan kerugian bagi Perusahaan Perasuransian.

(5)    Pihak  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat         (4)         berhak

mendapatkan          ganti                                            kerugian dari                                            Peru sahaan

Perasuransian         apabila                                            menderita                                            kerugian     yang

disebabkan oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Perusahaan Perasuransian.

(6)     Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak

berlaku  apabila pihak yang  bersangkutan  merupakan pihak terafiliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang  menyebabkan   dikeluarkannya  perintah   tertulis tersebut oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 67

 

Pihak lain yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2) dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali   dalam   rangka   pelaksanaan   fungsi,   tugas,   dan

wewenangnya       berdasarkan                                  keputusan                                  Otoritas                 Jasa

Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang.

BAB XIV

ASOSIASI USAHA PERASURANSIAN

 

 

Pasal 68

 

 

(1)     Setiap Perusahaan Perasuransian wajib menjadi anggota

salah  satu  asosiasi Usaha Perasuransian yang sesuai dengan jenis usahanya.

(2)     Asosiasi  Usaha  Perasuransian  sebagaimana  dimaksud

pada ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 69

 

(1)     Otoritas   Jasa   Keuangan   dapat   menugaskan   atau

mendelegasikan   wewenang   tertentu   kepada   asosiasi

Usaha        Perasuransian        dalam                   rangka                   pengaturan

dan/atau pengawasan Usaha Perasuransian.

 

(2)     Ketentuan   lebih   lanjut   mengenai   penugasan   atau

pendelegasian  wewenang  sebagaimana dimaksud  pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB XV

SANKSI ADMINISTRATIF

 

 

Pasal 70

 

Otoritas  Jasa  Keuangan  berwenang  mengenakan   sanksi

administratif   kepada          Setiap                                                   Orang                                                   yang                                                   melakukan

pelanggaran terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan peraturan pelaksanaannya.

 

Pasal 71

 

(1)     Setiap Orang yang melanggar ketentuan  sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11 ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), ayat (2), dan ayat

(3), Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan. ayat (4), Pasal

21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat

(3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27 ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (2), ayat (4), ayat (6), ayat

(7), dan ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5), dan ayat (6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35 ayat

(1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (5), Pasal 40 ayat

(1) dan ayat (3), Pasal    41 ayat (1), Pasal 42 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal 55 ayat (2), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 86 dikenai sanksi administratif.

(2)     Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) berupa:

a.  peringatan tertulis;

b.  pembatasan  kegiatan  usaha,  untuk  sebagian  atau
     
seluruh kegiatan usaha;

c.  larangan untuk memasarkan produk asuransi atau
     
produk asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;

d.  pencabutan izin usaha;

e.   pembatalan  pernyataan  pendaftaran  bagi  Pialang
     
Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi;

1. pembatalan pernyataan pendaftaran bagi konsultan
     
aktuaria,  akuntan  publik,  penilai,  atau  pihak lain

yang          memberikan          jasa                  bagi                  Perusahaan

Perasuransian;

g.   pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi atau
     
asosiasi;

h.  denda administratif; dan/atau

 

i.     larangan   menjadi   pemegang   saham,   Pengendali,

direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang  saham,  Pengendali,  direksi,  dan  dewan komisaris  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada Perusahaan Perasuransian.

 

(3)     Dalam  hal  Otoritas  Jasa  Keuangan  menilai  kondisi

Perusahaan Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan  dapat mengenakan  sanksi  pencabutan  izin usaha tanpa didahului pengenaan sanksi administratif yang lain.

(4)     Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan testa cara

pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta besaran denda sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 72

 

(1)     Dalam hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi

Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi  syariah  dikenai  sanksi  peringatan  tertulis

atau       pembatasan      kegiatan              usaha,                  Otoritas   Jasa

Keuangan dapat memerintahkan:

a.  penambahan modal;

b.  penggantian  direksi,  dewan  komisaris,  atau  yang
     
setara  dengan  direksi  dan  dewan  komisaris  pada
      
badan   hukum   berbentuk   koperasi   atau   usaha
     
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat

(1)     huruf  c,   dewan  pengawas  syariah,   aktuaris perusahaan, atau auditor internal;

 

c.  direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
     
direksi  dan  dewan  komisaris  pada  badan  hukum
     
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
      
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
     
dewan pengawas syariah menyerahkan pengendalian
      
dan   pengelolaan   kegiatan   Perusahaan   Asuransi,

Perusahaan           Asuransi                                Syariah,                                perusahaan

reasuransi,   atau   perusahaan   reasuransi   syariah kepada Pengelola Statuter;

d.  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
     
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
     
syariah mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio

pertanggungan         kepada                                     Perusahaan                                     Asuransi,

Perusahaan           Asuransi                                Syariah,                                perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain; dan/atau

e.  Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
     
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
     
syariah   melakukan   tindakan   yang  dinilai   dapat
      
mengatasi kesulitan atau tidak melakukan tindakan
     
yang dinilai dapat memperburuk kondisi perusahaan.

 

(2)    Dalam hal tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

tidak       dapat       mengatasi                         kesulitan                          yang                         dihadapi

Perusahaan  Asuransi,   Perusahaan  Asuransi  Syariah, perusahaan  reasuransi,   atau   perusahaan  reasuransi syariah,  Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha   Perusahaan   Asuransi,   Perusahaan   Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan reasuransi syariah.

 

(3)     Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta instansi yang

berwenang  untuk  memblokir  sebagian  atau  seluruh kekayaan  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan  Asuransi Syariah,   perusahaan   reasuransi,   atau   perusahaan

reasuransi        syariah       yang                           sedang       dikenai                           sanksi

pembatasan  kegiatan  usaha  karena  tidak  memenuhi

ketentuan        tingkat       solvabilitas   atau                  dicabut      izin

usahanya.

 

(4)    Pencabutan   blokir  terhadap   sebagian   atau   seluruh

kekayaan       sebagaimana                                  dimaksud             pada   ayat                          (3)

dilakukan setelah memperoleh persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.

(5)      Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara

pemblokiran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan blokir sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB XVI

KETENTUAN PIDANA

 

 

Pasal 73

 

 

(1)     Setiap Orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi,

usaha asuransi syariah, Usaha Reasuransi, atau Usaha Reasuransi   Syariah   tanpa   izin   usaha   sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

 

(2)     Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang

Asuransi  atau  Usaha  Pialang  Reasuransi  tanpa  izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8  ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)

tahun           dan          pidana                    denda     paling                    banyak

Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).

 

(3)     Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Penilai

Kerugian   Asuransi   tanpa   izin   usaha   sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga)  tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).

 

 

Pasal 74

 

(1)     Anggota direksi,  anggota  dewan  komisaris,  atau yang

setara  dengan   anggota   direksi   dan   anggota  dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf  c,  anggota  dewan  pengawas  syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana

dimaksud dalam  Pasal    22  ayat                                           (1) yang tidak benar,

palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana

penjara paling lama    5   (lima) tahun dan pidana denda

paling   banyak   Rp10.000.000.000,00                                                     (sepuluh   miliar

rupiah).

(2)     Anggota direksi,  anggota dewan  komisaris,  atau  yang

setara   dengan   anggota   direksi   dan   anggota   dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,  anggota  dewan  pengawas  syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan informasi, data, dan/atau dokumen

kepada       pihak       yang                    berkepentingan                    sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 46 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

Pasal 75

 

Setiap   Orang   yang   dengan   sengaja   tidak   memberikan informasi atau memberikan informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan kepada Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

 

 

Pasal 76

Setiap  Orang  yang  menggelapkan  Premi  atau  Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

 

 

Pasal 77

Setiap Orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset

atau        menurunkan         nilai       aset               Perusahaan           Asuransi,

Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tanpa hak dipidana dengan pidana penjara paling  lama 8 (delapan)  tahun  dan  pidana  denda  paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).

 

 

Pasal 78

 

Setiap  Orang  yang  melakukan  pemalsuan  atas  dokumen

Perusahaan         Asuransi,        Perusahaan                             Asuransi         Syariah,

perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 33  dipidana  dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

 

Pasal 79

 

Anggota direksi dan/atau pihak yang menandatangani polis baru  dari  Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang dalam pengenaan sanksi pembatasan kegiatan  usaha  sebagaimana  dimaksud  dalam  Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

 

 

Pasal 80

 

Setiap Orang, yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa

Keuangan,        yang        menggunakan                           atau         mengungkapkan

informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak lain, kecuali   dalam   rangka   pelaksanaan   fungsi,   tugas,   dan

wewenangnya        berdasarkan                                  keputusan                                  Otoritas                 Jasa

Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).

 

 

Pasal 81

 

(1)    Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 73, Pasal 75, Pasal          76, Pasal                                                       77, Pasal                                                       78, atau

Pasal    80 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali, dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi.

(2)       Pidana  dijatuhkan  terhadap  korporasi  apabila  tindak

pidana:

a.  dilakukan   atau                                             diperintahkan   oleh                                      Pengendali

dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi;

b.  dilakukan  dalam  rangka  pemenuhan  maksud  dan
      
tujuan korporasi;

c.   dilakukan sesuai dengan  tugas dan fungsi pelaku
      
atau pemberi perintah; dan

 

d.  dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi
      
korporasi.

 

 

Pasal 82

 

Pidana yang dijatuhkan  terhadap korporasi adalah pidana denda  paling  banyak  Rp600.000.000.000,00 (enam  ratus miliar rupiah).

 

 

BAB XVII

KETENTUAN PERALIHAN

 

 

Pasal 83

 

(1)       Perusahaan Perasuransian yang telah mendapatkan izin

usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, dinyatakan  telah  mendapat  izin  usaha  berdasarkan Undang-Undang ini.

(2)    Perusahaan agen asuransi yang telah mendapatkan izin

usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang ini

tetap dapat menjalankan usahanya.

(3)    Izin   atau   persetujuan  yang  telah   diberikan   kepada

Perusahaan            Perasuransian                                          berkenaan                                          dengan

kelembagaan dan penyelenggaraan Usaha Perasuransian

pada        saat       diundangkannya                Undang-Undang                ini,

dinyatakan tetap berlaku berdasarkan Undang-Undang

ini.

 

Pasal 84

 

(1)       Perusahaan konsultan aktuaria yang telah mendapat izin

usaha pada saat diundangkannya Undang-Undang ini tetap dapat menjalankan kegiatan usahanya.

(2)      Dengan diundangkannya Undang-Undang ini, perizinan

usaha,        pembinaan,        dan                   pengawasan       perusahaan

konsultan aktuaria dilakukan oleh Menteri.

Pasal 85

 

(1)      Pada saat diundangkannya Undang-Undang ini, setiap

Pihak yang menjadi pemegang saham pengendali pada

lebih dari      1   (satu) perusahaan asuransi jiwa,   1                       (satu)

perusahaan        asuransi   umum,                            1                            (satu)   perusahaan

reasuransi,     1  (satu) perusahaan asuransi jiwa syariah,                         1

(satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan                                                                 1                                                          (satu)

perusahaan   reasuransi   syariah   wajib   menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) paling lama 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

 

(2)       Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian

pemegang  saham  pengendali  sebagaimana  dimaksud pada   ayat (1) dan   sanksi   bagi   Pihak  yang   tidak melakukan  penyesuaian  pemegang  saham  pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 86

 

Usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf  c   wajib   menyesuaikan   dengan   ketentuan   dalam Undang-Undang  ini  dan  peraturan  pelaksanaannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

 

Pasal 87

 

(1)      Dalam   hal   Perusahaan   Asuransi   atau   perusahaan

reasuransi  memiliki  unit  syariah  dengan  nilai  Dana Tabarru' dan  dana  investasi  peserta  telah  mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari total nilai Dana  Asuransi,  Dana  Tabarru',  dan  dana  investasi peserta pada perusahaan  induknya atau 10 (sepuluh) tahun   sejak   diundangkannya   Undang-Undang   ini, Perusahaan   Asuransi   atau   perusahaan   reasuransi tersebut   wajib   melakukan   pemisahan   unit   syariah tersebut  menjadi  Perusahaan  Asuransi  Syariah  atau

perusahaan reasuransi syariah.

 (2)     Ketentuan lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah

dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit syariah

sebagaimana  dimaksud  pada  ayat                                                               (1)                                                          diatur  dalam

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 88

 

(1)    Perusahaan   Perasuransian   yang   belum   memenuhi

ketentuan  dalam  Pasal           7   ayat                                                                (1)                                                                huruf  a  wajib

menyesuaikan   dengan   ketentuan   tersebut   dengan mengalihkan   kepemilikan   sahamnya   kepada   warga

negara         Indonesia         atau                     melakukan       perubahan

kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public  offering)  paling  lama 5 (lima)   tahun   sejak diundangkannya Undang-Undang ini.

(2)      Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian

kepemilikan sebagaimana dimaksud pada ayat                                                               (1) dan sanksi   bagi   Perusahaan   Perasuransian   yang   tidak melakukan   penyesuaian   kepemilikan   diatur   dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

BAB XVIII

KETENTUAN PENUTUP

 

 

Pasal 89

 

Ketentuan  di  dalam  peraturan  perundang-undangan  yang mewajibkan penutupan asuransi atau asuransi syariah oleh seluruh  atau  kelompok  tertentu  dalam  masyarakat wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini.

 

Pasal 90

 

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:

a.   Undang-Undang  Nomor       2  Tahun                                                           1992  tentang  Usaha

Perasuransian        (Lembaran   Negara   Republik   Indonesia

Tahun      1992  Nomor      13,  Tambahan  Lembaran  Negara

Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;

b.  ketentuan mengenai permohonan pernyataan pailit oleh
      
Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat

(5)    Undang-Undang  Nomor         37   Tahun         2004   tentang

Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 131,  Tambahan  Lembaran  Negara  Republik  Indonesia Nomor 4443) dinyatakan tidak berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi; dan

c.  semua peraturan perundang-undangan yang merupakan

peraturan  pelaksanaan  dari  Undang-Undang  Nomor                                                                    2

Tahun      1992  tentang  Usaha  Perasuransian                 (Lembaran

Negara   Republik   Indonesia   Tahun                                                             1992   Nomor                                                                 13,

Tambahan Lembaran. Negara Republik Indonesia Nomor 3467), dinyatakan masih tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan  dengan  ketentuan  dalam Undang-Undang ini.

 

 

Pasal 91

Peraturan   pelaksanaan   dan   Undang-Undang   ini   harus ditetapkan paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.

 

 

Pasal 92

 

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

 

Agar        setiap        orang                 mengetahuinya,                 memerintahkan pengundangan  Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

 

 

Disahkan di Jakarta

Pada tanggal 17 Oktober 2014

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

 

Diundangkan di Jakarta

Pada tanggal 17 Oktober 2014

MENTER11-1UKUM DAN HAK ASASI MANUSIA,
                      
REPUBLIK INDONESIA,

 

ttd.

 

AMIR SYAMSUDIN

 

 

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR 337

 

 

 

Salinan sesuai dengan aalinya

KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
             
REPUBLIK INDONESIA

Asisten Deputi Perundang-undangan
                            
Perekonomian,


 

 

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
                 
NOMOR 40 TAHUN 2014

TENTANG

PERASURANSIAN

 

 

I.     UMUM

Pembangunan nasional memerlukan dan mengharuskan dilakukannya penyesuaian dalam berbagai hal terhadap perkembangan kondisi dan aspirasi masyarakat.  Dalam  industri  perasuransian,  balk secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai dengan meningkatnya volume usaha dan bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin bervariasi sejalan dengan perkembangan kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha.

Selain perkembangan di dalam industri perasuransian, terjadi pula perkembangan di industri jasa keuangan yang lain. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan ini mengakibatkan semakin menipisnya batasan dan perbedaan  jenis  layanan  yang  diberikan  oleh  industri  jasa  keuangan.

Perkembangan       demikian      menuntut   adanya                                   sistem            pengaturan                                   dan

pengawasan sektor keuangan yang lebih baik dan terpadu.

Ketentuan yang  ada dalam Undang-Undang Nomor                                                                                            2  Tahun                                                                                                     1992 tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3467) tidak lagi cukup untuk menjadi dasar pengaturan dan pengawasan industri perasuransian yang telah berkembang. Penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan   mengenai   perasuransian   harus   dilakukan   untuk menciptakan  industri  perasuransian  yang lebih  sehat,  dapat  diandalkan, amanah,  dan  kompetitif serta  meningkatkan  perannya  dalam  mendorong pembangunan nasional.

Upaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih sehat, dapat diandalkan,  amanah,  dan kompetitif secara umum  dilakukan,  baik dengan penetapan ketentuan baru maupun dengan penyempurnaan ketentuan

yang telah ada. Upaya tersebut diwujudkan antara lain dalam bentuk:

1.     penetapan landasan hukum bagi penyelenggaraan Usaha Asuransi Syariah

dan Usaha Reasuransi Syariah;

 

 

2.  penetapan  status badan hukum bagi  Perusahaan  Asuransi berbentuk
      
usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan;

3.    penyempurnaan            pengaturan           mengenai       kepemilikan                  perusahaan

perasuransian yang mendukung kepentingan nasional;

4.    pemberian   amanat   lebih   besar   kepada   Perusahaan   Asuransi   dan

Perusahaan Asuransi Syariah untuk mengelola kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pemasaran layanan jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerja sama keagenan; dan

5.    penyempurnaan ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola

perusahaan yang balk,  kesehatan keuangan, dan perilaku  usaha yang sehat.

Peningkatan        peran       industri       perasuransian                               dalam      mendorong

pembangunan  nasional  terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam menghadapi risiko yang dihadapinya seharihari dan pada saat mereka memulai dan menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, Undang-Undang ini mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah   di   Indonesia   dan   penutupan   Objek  Asuransi   tersebut  harus memperhatikan  optimalisasi  kapasitas  Perusahaan  Asuransi,  Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini, Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Undang-Undang ini juga mengharuskan penyelenggaraan Program Asuransi Wajib, misalnya asuransi tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga bagi pengendara kendaraan bermotor, secara kompetitif dan memungkinkan pemberian fasilitas fiskal kepada perseorangan, rumah tangga, dan/ atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan  pemanfaatan  Asuransi  atau  Asuransi  Syariah  dalam  rangka pengelolaan risiko.

Peningkatan        peran       industri       perasuransian                               dalam      mendorong

pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan. Pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa  Keuangan,  terutama dalam  hal  pengaturan  lini  usaha dan  produk Asuransi dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau

kecilnya peran industri perasuransian tersebut.

 

 

Pengaturan dalam Undang-Undang ini juga mencerminkan perhatian dan dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang lebih terbuka pada tingkat regional, dan penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan, pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.

 

 

PASAL DEMI PASAL

 

Pasal 1

Cukup jelas.

 

Pasal 2

Ayat (1)

Berdasarkan mekanisme pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan  dan  lini  usaha  asuransi  kecelakaan  din   lebih  tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun, mengingat Objek Asuransi yang dipertanggungkan dalam kedua lini usaha dimaksud menyangkut din  manusia,  lini  usaha asuransi kesehatan dan lini usaha asuransi kecelakaan din juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan asuransi jiwa.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 3

Usaha asuransi  syariah dan  Usaha  Reasuransi  Syariah berbeda dari usaha asuransi konvensional dan usaha reasuransi konvensional. Usaha asuransi  dan  Usaha  Reasuransi  yang  dikelola  secara  konvensional menerapkan konsep transfer risiko, sedangkan usaha asuransi syariah dan Usaha Reasuransi Syariah merupakan penerapan konsep berbagi risiko (risk  sharing).  Mengingat  perbedaan  konsepsi  yang  mendasari penyelenggaraan   usahanya,   usaha   asuransi   syariah   dan   Usaha Reasuransi Syariah yang saat ini diperkenankan dalam bentuk unit di dalam  perusahaan  asuransi  dan  perusahaan  reasuransi  konvensional akan didorong untuk diselenggarakan oleh entitas yang terpisah.

 

Pasal 4

Cukup jelas.

 

Pasal 5

Cukup jelas.

 

Pasal 6

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Pihak   yang   bermaksud   menyelenggarakan   Usaha   Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum Syariah, atau Usaha Asuransi Jiwa Syariah dengan bentuk badan hukum usaha   bersama   setelah   Undang-Undang   ini   diundangkan,

didorong         untuk         menjadi         berbentuk                        koperasi    dengan

pertimbangan kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Hal yang diatur dalam Peraturan Pemerintah antara lain tata kelola, persyaratan   dan   tata   cara  perubahan   menjadi   badan  hukum perseroan terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama.

 

Pasal 7

Ayat (1)

Dalam   kehidupan         perekonomian   yang   semakin                             terbuka   dan berkembang  cepat,  dibutuhkan  layanan  jasa  pertanggungan  atau pengelolaan   risiko   yang  semakin   beragam  dan   berkualitas  oleh Perusahaan Perasuransian yang sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif.  Untuk  itu,  Perusahaan  Perasuransian  perlu  dibangun dengan permodalan yang kuat, yang bersumber, balk dart dalam negeri maupun dan luar negeri.

Huruf a

Cukup jelas.

 

Huruf b

Kepemilikan pihak asing pada Perusahaan Perasuransian dibatasi secara kualitatif. Pembatasan secara kualitatif dilakukan dengan mempersyaratkan   bahwa   pada   scat   pendirian   Perusahaan Perasuransian,  pihak asing yang dapat menjadi pemilik adalah badan  hukum asing yang memiliki Usaha  Perasuransian yang

sejenis   atau        perusahaan      induk   yang                                salah                   satu                                anak

perusahaannya  bergerak di  bidang  Usaha  Perasuransian yang sejenis. Persyaratan badan hukum asing harus mempunyai Usaha Perasuransian yang sejenis dimaksudkan agar mitra asing yang akan menjadi salah satu pemilik Perusahaan Perasuransian di Indonesia tersebut merupakan  Perusahaan  Perasuransian yang benar-benar mempunyai pengalaman usaha di bidangnya sehingga diharapkan terjadi transfer modal dan transfer pengetahuan dan teknologi kepada pihak Indonesia.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Ketentuan  yang  diatur  dalam  peraturan  pemerintah  antara  lain mengenai   pembatasan   kepemilikan   badan   hukum   asing   secara kuantitatif. Pembatasan tersebut dapat berupa persentase maksimum kepemilikan asing pada Perusahaan Perasuransian.

Pembatasan   secara   kuantitatif  membutuhkan   fleksibilitas  guna menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan dan ketersediaan dana dalam negeri.

Batas       kepemilikan       badan       hukum      asing   dalam      Perusahaan

Perasuransian  dikonsultasikan  dengan  Dewan  Perwakilan  Rakyat Republik Indonesia dan Otoritas Jasa Keuangan.

 

 

Pasal 8

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Ayat (4)

Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tats cara perizinan usaha antara lain berupa persyaratan kompetensi atau keahlian di bidang Usaha Perasuransian sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa Keuangan termasuk bagi pengurus dan tenaga ahli asing.

 

Pasal 9

Ayat (1)

Waktu      30      (tiga   puluh)   hari   kerja   mencakup   waktu   untuk

mengklarifikasi        data       atau       informasi                                    dalam    dokumen                                    yang

dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha. Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 10

Cukup jelas.

 

Pasal 11

Cukup jelas.

 

Pasal 12

Ayat (1)

Pemenuhan  persyaratan  kemampuan  dan  kepatutan  bagi anggota dewan pengawas syariah mencakup integritas dan kompetensi terkait tugas dan  fungsi  dewan pengawas  syariah  serta pengalaman dan keahlian di bidang usaha perasuransian syariah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 13

Ayat (1)

Penetapan Pengendali diperlukan agar Otoritas Jasa Keuangan dapat

menentukan. Pihak yang dimintai pertanggungjawaban, selain direksi dan komisaris, apabila terjadi kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban kepada Pemegang Pais, Tertanggung, atau Peserta akibat

pengaruh Pihak tersebut dalam pengelolaan perusahaan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 14

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Persetujuan ini diperlukan antara lain agar Pihak yang tidak lagi menjadi Pengendali dipastikan tidak lagi memiliki kewajiban untuk ikut   bertanggung  jawab   atas   kerugian   Perusahaan   Asuransi,

Perusahaan         Asuransi       Syariah,                             perusahaan   reasuransi,   atau

perusahaan  reasuransi  syariah yang disebabkan oleh  Pihak yang sebelumnya berada dalam pengendaliannya.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 15

Cukup jelas.

 

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Pengecualian dalam ketentuan ini dimaksudkan agar negara dapat memiliki dan/atau mengendalikan lebih dari satu perusahaan dengan usaha sejenis dalam rangka menyediakan jasa asuransi bagi kelompok masyarakat tertentu atau daerah tertentu, menjadi perintis kegiatan usaha asuransi yang belum dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, atau menyelenggarakan kemanfaatan umum lain yang strategis bagi masyarakat.

Ayat (3)

Hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan  antara  lain  besar  kepemilikan  saham  dan  tata  cara konsolidasi perusahaan.

 

Pasal 17

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

 

 

Ayat (3)

Hal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain mengenai jenis, jumlah,  persyaratan,  tugas,  tanggung jawab,  dan wewenang tenaga ahli dan aktuaris.

 

Pasal 18

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "standar seleksi" adalah persyaratan minimum bagi Pihak yang akan dijadikan tiara kerja sama oleh Perusahaan Perasuransian.

Yang  dimaksud  dengan  "akuntabilitas"  adalah  adanya  keyakinan Perusahaan Perasuransian atas kemampuan dan pengalaman dari perusahaan   yang   diajak   bekerja   Rama   dan   adanya   kejelasan

pertanggungjawaban oleh Perusahaan  Perasuransian atas kegiatan
      
atau fungsi yang dilaksanakan oleh pihak lain tersebut.
 
Ayat (4)

Ketentuan  yang  diatur  dalam  Peraturan  Otoritas  Jasa  Keuangan antara lain mengenai jenis, nilai, dan jangka waktu pengalihan fungsi yang  dapat  dilakukan  oleh  Perusahaan  Perasuransian,  termasuk perusahaan penilai kerugian asuransi, kepada pihak lain terutama pihak asing.

Pasal 19

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Ketentuan ini dirnaksudkan agar Dana Asuransi atau Dana Tabarru' dapat dikelola dengan  baik, mengingat Dana Asuransi atau  Dana

Tabarru'   dimaksud         merupakan        dana   yang   akan                          digunakan

perusahaan  untuk  memenuhi  kewajiban  kepada  Pemegang  Polis, Tertanggung, atau Peserta. Kewajiban melakukan evaluasi atas Dana Asuransi atau Dana Tabarru' uga dilakukan di negara lain.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 20

Ayat (1)

Dana Jaminan dibentuk untuk memberikan jaminan atas penggantian sebagian atau seluruh hak Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta dalam hal perusahaan  harus dilikuidasi.  Dengan demikian,  Dana Jaminan merupakan bagian dari upaya melindungi Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.

Ayat (2)

Pada umumnya, perkembangan usaha mengakibatkan bertambahnya kewajiban  perusahaan  kepada  Pemegang  Polis,  Tertanggung,  atau Peserta. Hal ini juga berarti bertambah pula besar hak Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta yang perlu dijamin pengembaliannya jika perusahaan dilikuidasi.

Ayat (3)

Ketentuan ini dimaksudkan agar penggunaan Dana Jaminan untuk mengembalikan   sebagian   atau   seluruh   hak   Pemegang   Polis, Tertanggung,  atau  Peserta pada saat perusahaan dilikuidasi dapat dipastikan.

Ayat (4)

Ketentuan ini dimaksudkan untuk mencegah penyalahgunaan Dana Jaminan.

Ayat (5)

Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Jaminan meliputi pengaturan jenis aset yang dapat digunakan sebagai Dana Jaminan, jumlah Dana Jaminan  minimum  yang  harus  dimiliki  perusahaan,  penyesuaian besar   Dana   Jaminan   berdasarkan   volume   usaha,   tata   cara pemindahan atau pencairan Dana Jaminan, dan penatausahaannya.

 

Pasal 21

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Pemisahan  kekayaan  dan  kewajiban  dilaksanakan  dengan  tetap

memperhatikan   keseimbangan   antara   pengembangan   usaha  dan

pelindungan konsumen.

 

Pasal 22

Ayat (1)

Laporan yang wajib disampaikan Perusahaan Perasuransian kepada Otoritas  Jasa  Keuangan  antara  lain  laporan  keuangan,  laporan kegiatan usaha, dan laporan program dukungan reasuransi otomatis. Selain itu, dalam keadaan atau untuk tujuan tertentu, Perusahaan Perasuransian juga dapat diwajibkan menyampaikan laporan yang bersifat tematik misalnya profit risiko dan pelaksanaan tata kelola perusahaan.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan yang diumumkan paling sedikit meliputi rasio kesehatan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan

perusahaan         reasuransi        syariah.                             Pengumuman  melalui        media

elektronik dilakukan pada situs perusahaan dan situs Otoritas Jasa Keuangan.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Ketentuan  yang diatur dalam  Peraturan  Otoritas Jasa Keuangan antara  lain  mengenai jenis,  bentuk,  dan  susunan  laporan  atau pengumuman, serta jadwal dan batas waktu penyampaian laporan dan pengumuman.

Pasal 23

Cukup jelas.

 

Pasal 24

Cukup jelas.

 

Pasal 25

Cukup jelas.

 

Pasal 26

Ayat (1)

Ketentuan   mengenai   standar   perilaku   usaha   bagi   Perusahaan Asuransi Syariah dan perusahaan reasuransi syariah mengacu pula pada Prinsip Syariah.

Ayat (2)

Pengaturan   mengenai   standar  perilaku   usaha  dalam  Peraturan Otoritas Jasa Keuangan disesuaikan dengan jenis usaha Perusahaan Perasuransian masing-masing.

 

Pasal 27

Cukup jelas.

 

Pasal 28

Cukup jelas.

 

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas. Ayat (7)

Imbalan   jasa   keperantaraan   dapat   dibayarkan   langsung   oleh Pemegang Polis atau menjadi bagian dari Premi. Dalam hal imbalan jasa keperantaraan merupakan bagian dari Premi, dalam polls atau dokumen  yang  merupakan  kesatuan  dengannya dimuat perincian mengenai bagian premi yang diteruskan kepada Perusahaan Asuransi dan imbalan jasa keperantaraan yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi.

Pasal 30

Cukup jelas.

 

Pasal 31

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan segera, dalam waktu sesingkatsingkatnya, dan secara cekatan.

Yang dimaksud dengan "sederhana" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan bersifat lugas dan tidak remit.

Yang  dimaksud  dengan  "mudah  diakses"  adalah  bahwa  proses penanganan klaim dan keluhan diselenggarakan di kantor perusahaan atau  tempat  lain  yang  mudah  dikunjungi,  atau  diselenggarakan dengan  memanfaatkan  teknologi yang  memudahkan  orang  untuk menyampaikan klaim atau keluhan dan mendapatkan tanggapan.

Yang dimaksud dengan "adil" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan berpegang kepada kebenaran, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang.

Ayat (4)

Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau pembayaran klaim antara lain:

a. memperpanjang  proses   penyelesaian   klaim   dengan   meminta
    
penyerahan  dokumen  tertentu,  yang  kemudian  diikuti  dengan
    
meminta penyerahan dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal
    
yang sama;

b. menunda penyelesaian dan pembayaran klaim karena menunggu
    
penyelesaian dan/atau pembayaran klaim reasuransinya;

c. tidak melakukan penyelesaian klaim yang merupakan bagian dari
    
penutupan asuransi karena alasan adanya keterkaitan dengan
   
penyelesaian klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan
    
asuransi dalam 1 (satu) polls yang sama;

d. memperlambat penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi,
    
apabila jasa penilai kerugian asuransi dibutuhkan dalam proses
    
penyelesaian klaim; dan

e. menerapkan  prosedur  penyelesaian  klaim  yang  tidak   sesuai
    
dengan praktik usaha asuransi yang berlaku umum.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 32

Cukup jelas.

 

Pasal 33

Cukup jelas.

 

Pasal 34

Cukup jelas.

 

Pasal 35

Ayat (1)

Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa koperasi atau usaha bersama memiliki keterbatasan kemampuan untuk menambah modal. Namun, di sisi lain koperasi atau usaha bersama tetap harus memastikan  kemampuannya  untuk  memenuhi  kewajiban  kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.

Ayat (2)

Ketentuan         ini        dimaksudkan          untuk                            menegaskan                        konsep

pertanggungan   bersama   dan   berbagi   risiko   antaranggota,   dan menghindari adanya anggota yang hanya menjadi pemodal bagi usaha asuransi yang dijalankan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan

Asuransi       Syariah       berbentuk       koperasi                       atau             usaha                bersama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c. Ayat (3)

Ketentuan   ini   juga   dimaksudkan   untuk   menegaskan   konsep pertanggungan   bersama   dan   berbagi   risiko   antaranggota,   dan menghindari adanya anggota yang hanya menjadi pemodal.

Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Yang dimaksud dengan "persyaratan keuangan" antara lain besaran simpanan pokok dan simpanan wajib yang harus disetor oleh anggota.

Pasal 36

Ketentuan  ini  dimaksudkan  untuk  mendorong  Perusahaan  Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi  syariah  agar  benar-benar  menjalankan  fungsinya  sebagai penanggung dan/atau penanggung ulang.

 

Optimalisasi pemanfaatan kapasitas reasuransi dalam negeri dilakukan

dengan       menempatkan         sebanyak-banyaknya                    pertanggungan        ulang

asuransi pada Perusahaan Asuransi dan/atau perusahaan reasuransi di dalam negeri, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan tetap  memperhatikan prinsip manajemen risiko,  terutama penyebaran risiko.

 

Pasal 37

Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat melakukan langkah-langkah, seperti:

a. membentuk perusahaan reasuransi baru;

b. menggabungkan beberapa badan usaha milik negara yang bergerak di

bidang         perasuransian           dan        menugaskan                    perusahaan               hasil

penggabungan tersebut menjadi perusahaan reasuransi;

c. memberikan   fasilitas  untuk  pembentukan  pool  atau   konsorsium
    
asuransi untuk risiko tertentu, misalnya risiko bencana alam; atau

d. menghindari          pengenaan         pajak        berganda                                     terhadap             industri

perasuransian.

 

Pasal 38

Cukup jelas.

 

Pasal 39

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Otoritas Jasa Keuangan harus menetapkan persyaratan bagi pihak yang akan menyelenggarakan Program Asuransi Wajib, misalnya besar modal dan ketersediaan infrastruktur usaha.

Ayat (4)

Yang dimaksud dengan "manfaat tambahan" adalah besaran manfaat yang diberikan dan bukan tambahan jenis manfaat.

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 40

Ayat (1)

Perubahan kepemilikan mencakup antara lain perubahan komposisi saham, pengambilalihan, dan penambahan pemegang saham baru.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 41

Cukup jelas.

 

Pasal 42

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Hal yang akan  diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain adanya transfer portofolio pertanggungan atau pengembalian   hak   Pemegang   Polls   atau   Tertanggung   sebelum

Perusahaan         Asuransi       atau       Perusahaan                             Reasuransi    tersebut

menghentikan kegiatan usahanya.

 

Pasal 43

Cukup jelas.

 

Pasal 44

Ayat (1)

Likuidasi perusahaan yang telah dicabut izin usahanya perlu segera

dilakukan          untuk         melindungi                          kepentingan                          Pemegang                          Polis,

Tertanggung, atau Peserta.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 45

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Hal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain:

a.  mekanisme  pembubaran badan. hukum Perusahaan Asuransi,
      
Perusahaan  Asuransi  Syariah,  perusahaan  reasuransi,  atau
      
perusahaan reasuransi syariah;

b.  jumlah anggota tim likuidasi;

c.  penghasilan tim likuidasi;

d.  tata cara pelaksanaan likuidasi;

e.  jangka waktu likuidasi;

f.       pengawasan pelaksanaan likuidasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;

g. tata cara pengalihan aset dan kewajiban Perusahaan Asuransi,
        
Perusahaan  Asuransi  Syariah,   perusahaan  reasuransi,  atau

perusahaan reasuransi syariah; dan

h.  pertanggungjawaban tim likuidasi.

 

Pasal 46

Cukup jelas.

 

Pasal 47

Cukup jelas.

 

Pasal 48

Ayat (1)

Tagihan  diajukan  melalui  Otoritas  Jasa  Keuangan  dimaksudkan untuk memudahkan proses penagihan, tetapi Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan verifikasi terhadap tagihan tersebut.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Ayat (1)

Sejalan dengan ruang lingkup togas Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi  terhadap  keseluruhan  kegiatan  di  dalam  sektor jasa keuangan, maka kewenangan pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan  berdasarkan  Undang-Undang  Nomor 37  Tahun 2004 tentang  Kepailitan  dan  Penundaan  Kewajiban  Pembayaran  Utang beralih menjadi kewenangan  Otoritas Jasa  Keuangan  berdasarkan Undang-Undang ini.

Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

 

Pasal 51

Cukup jelas.

 

Pasal 52

Cukup jelas.

 

Pasal 53

Ayat (1)

Program        penjaminan         polis       dimaksudkan                       untuk                    menjamin

pengembalian         sebagian       atau       seluruh                                 hak                 Pemegang                                 Polls,

Tertanggung, atau Peserta dan Perusahaan Asuransi atau Perusahaan

Asuransi Syariah yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi.

Selain itu, keberadaan program penjaminan polls dimaksudkan untuk

meningkatkan           kepercayaan          masyarakat                                    terhadap                 industri

perasuransian          pada        umumnya         sehingga                                   diharapkan                       dapat

meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa asuransi. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 54

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "independen" adalah tidak dipengaruhi oleh pihak lain.

Yang dimaksud dengan "imparsial" adalah tidak berpihak pada salah satu pihak yang bersengketa.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

 

Pasal 55

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Yang dimaksud dengan "penilai" adalah penilai aset. Huruf d

Cukup jelas.

Ayat (2)

Ketentuan ini didasarkan pertimbangan bahwa Usaha Perasuransian memiliki karakteristik yang khas sehingga profesi penyedia jasa. bagi Perusahaan Perasuransian harus memenuhi kualifikasi tertentu.

Ayat (3)

Cukup jelas.

 

 

Pasal 56

Cukup jelas.

 

Pasal 57

Ayat (1)

Pengaturan  dan  pengawasan  kegiatan  Usaha  Perasuransian  oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata kelola, perilaku usaha, dan kesehatan keuangan.

Yang dimaksud dengan "pengawasan" antara lain analisis laporan, pemeriksaan, dan penyidikan.

Ayat (2)

Kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional meliputi hal kepernilikan  asing  atas  Perusahaan  Perasuransian,  peningkatan kapasitas  asuransi,  asuransi  syariah,  reasuransi,  dan  reasuransi syariah   dalam   negeri,   serta   pemberian   fasilitas   fiskal   kepada perseorangan,  rumah  tangga,  dan/atau  usaha  mikro,  kecil,  dan menengah.

 

Pasal 58

Cukup jelas.

 

Pasal 59

Cukup jelas.

 

Pasal 60

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas. Huruf b

Cukup jelas. Huruf c

Cukup jelas. Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

 

Huruf g

Cukup jelas. Huruf h

Cukup jelas. Huruf

Cukup jelas. Huruf j

Cukup jelas. Huruf k

Cukup jelas. Huruf 1

Angka 1

Cukup jelas. Angka 2

Cukup jelas. Angka 3

Cukup jelas. Angka 4

Cukup jelas. Angka 5

Yang dimaksud dengan produk asuransi tertentu yang dapat dihentikan   pemasarannya   adalah   produk   yang dapat merugikan  Pemegang  Polls,   Tertanggung,   atau   Peserta, produk yang  bertentangan  dengan  peraturan  perundang-
undangan dan norma yang berlaku di masyarakat, dan/atau
produk yang dapat membahayakan keuangan Perusahaan

Asuransi,       Perusahaan        Asuransi                        Syariah,              perusahaan

reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Angka 6

Cukup jelas. Huruf m

Cukup jelas. Huruf n

Cukup jelas.

 

Pasal 61

Ayat (1)

Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan di  kantor Perusahaan Perasuransian dan/atau pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan.  Pemeriksaan di  kantor Perusahaan  Perasuransian dapat dilakukan terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian dan/atau terhadap aspek tertentu dari  penyelenggaraan  kegiatan  usaha  Perusahaan  Perasuransian. Sedangkan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan dilakukan hanya terhadap aspek tertentu dari penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian.

Pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian apabila:

a.  data,         dokumen,      dan/atau                    keterangan      dari                       Perusahaan

Perasuransian yang diperiksa tidak dapat memberikan dasar yang cukup bagi pegawai Otoritas Jasa Keuangan dan/atau pihak lain yang  ditunjuk  oleh  Otoritas  Jasa  Keuangan  yang  melakukan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat kesimpulan  atas  hasil  pemeriksaan  di  kantor  Otoritas  Jasa Keuangan; dan/atau

b.  adanya  tanggapan  Perusahaan  Perasuransian  yang  diperiksa
     
terhadap kesimpulan hasil pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa
     
Keuangan.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan, lembaga, institusi, atau orang, balk dari dalam maupun luar Otoritas Jasa Keuangan. Pihak tersebut antara lain akuntan publik, konsultan aktuaria, penilai kerugian,  pejabat  penyidik  pegawai  negeri  sipil  dan/atau  pejabat penyidik Kepolisian Republik Indonesia.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas. Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 62

Ayat (1)

Cukup jelas.

 

Ayat (2)

Huruf a

Yang dimaksud dengan "kekayaan" antara lain surat berharga, tanah, gedung, dan kendaraan.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas. Huruf e

Cukup jelas. Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Ketentuan  ini  didasarkan  bahwa  direksi  dan  komisaris  nonaktif Perusahaan Perasuransian dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan keuangan dan operasional Perusahaan Perasuransian yang

sedang diambil alih kepengurusannya oleh Pengelola Statuter. Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas.

Pasal 63

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud  "perintah  tertulis"  adalah  perintah  secara tertulis untuk melaksanakan atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Ayat (5)

Cukup jelas.

 

Pasal 64

Cukup jelas.

 

Pasal 65

Cukup jelas.

 

Pasal 66

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Ketentuan  ini  didasarkan  bahwa  Pengendali  mempunyai  peranan penting, baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi   pengelolaan   atau   kebijakan   suatu   Perusahaan Perasuransian.

Ayat (3)

Cukup jelas. Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas. Ayat (6)

Cukup jelas.

 

Pasal 67

Informasi yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan dapat berupa informasi yang sifatnya rahasia, antara lain informasi yang terkait dengan stabilitas perekonomian nasional dan informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan Usaha Perasuransian dari persaingan usaha tidak sehat. Informasi rahasia tersebut dapat diakses oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak yang ditunjuk dan/atau diberi tugas oleh Otoritas Jasa Keuangan.

 

Pasal 68

Ayat (1)

Pengaturan  ini  dimaksudkan  untuk  meningkatkan  peran  asosiasi dalam mengatur para anggotanya (self regulatory) dan melancarkan

koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.

 

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 69

Ayat (1)

Penugasan atau pendelegasian wewenang tertentu dari Otoritas Jasa Keuangan kepada asosiasi antara lain penyusunan standar etika usaha dan tata perilaku (code of conduct), pembentukan profil risiko dan  tabel  mortalita,  serta pelaksanaan dan  penetapan sertifikasi keagenan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

 

Pasal 70

Cukup jelas.

 

Pasal 71

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Contoh kondisi yang membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta antara lain kondisi keuangan perusahaan memburuk   secara   drastis,   pemegang   saham   tidak   kooperatif, dan/atau direksi dan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan komisaris  pada  badan  hukum  berbentuk  koperasi  atau  usaha bersama sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, tidak memiliki jalan keluar untuk mengatasi permasalahan.

Ayat (4)

Cukup jelas.

 

Pasal 72

Cukup jelas.

 

Pasal 73

Cukup jelas.

 

Pasal 74

Cukup jelas.

 

Pasal 75

Cukup jelas.

 

Pasal 76

Cukup jelas.

 

Pasal 77

Cukup jelas.

 

Pasal 78

Cukup jelas.

 

Pasal 79

Cukup jelas.

 

Pasal 80

Cukup jelas.

 

Pasal 81

Cukup jelas.

 

Pasal 82

Cukup jelas.

 

Pasal 83

Ayat (1)

Cukup jelas. Ayat (2)

Cukup jelas. Ayat (3)

Yang dimaksud dengan "izin" adalah izin di luar izin usaha.                                                                                   Contoh izin atau persetujuan antara lain izin untuk memasarkan produk asuransi dan persetujuan untuk bancassurance.

Pasal 84

Cukup jelas.

 

Pasal 85

Cukup jelas.

 

Pasal 86

Cukup jelas.

 

undangan mengenai dana pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dan dana kecelakaan lalu lintas jalan.

 

Pasal 90

Cukup jelas.

Pasal 91

Cukup jelas.

 

Pasal 92

Cukup jelas.

 


Related Posts

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 40 TAHUN 2014 TENTANG PERASURANSIAN
4/ 5
Oleh