UNDANG UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2014
UNDANG-UNDANG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 40 TAHUN 2014
TENTANG
PERASURANSIAN
DENGAN RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Menimbang : a. bahwa industri perasuransian yang sehat, dapat
diandalkan,
amanah, dan kompetitif akan meningkatkan pelindungan bagi
pemegang polis, tertanggung, atau peserta, dan
berperan mendorong pembangunan nasional;
b. bahwa dalam
rangka menyikapi dan
mengantisipasi
perkembangan industri perasuransian serta
perkembangan
perekonomian, balk pada tingkat nasional maupun pada tingkat
global, perlu mengganti Undang-
Undang Nomor 2 Tahun 1992 tentang Usaha
Perasuransian dengan undang-undang yang bare;
c. bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a dan huruf b, perlu membentuk Undang-
Undang tentang Perasuransian;
Mengingat Pasal
5 ayat (1), Pasal 20, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
Dengan Persetujuan Bersama
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERASURANSIAN.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1.
Asuransi adalah perjanjian
antara dua pihak,
yaitu
perusahaan asuransi dan pemegang polls, yang menjadi
dasar bagi penerimaan premi oleh perusahaan asuransi
sebagai imbalan untuk:
a. memberikan
penggantian kepada tertanggung
atau
pemegang polls karena
kerugian, kerusakan, biaya
yang timbul, kehilangan keuntungan, atau tanggung
jawab
hukum kepada pihak
ketiga yang mungkin
diderita tertanggung
atau pemegang polis
karena
terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan
pembayaran yang didasarkan
pada
meninggalnya
tertanggung atau pembayaran
yang
didasarkan pada hidupnya
tertanggung dengan
manfaat yang
besarnya telah ditetapkan
dan/atau
didasarkan pada hasil pengelolaan dana.
2. Asuransi Syariah adalah kumpulan perjanjian,
yang terdiri
atas perjanjian antara perusahaan asuransi syariah
dan
pemegang polis dan perjanjian di antara para
pemegang
polis, dalam rangka pengelolaan kontribusi
berdasarkan
prinsip syariah guna
soling menolong dan melindungi
dengan cara:
a.
memberikan penggantian kepada peserta atau
pemegang
polis karena kerugian,
kerusakan, biaya yang timbul, kehilangan
keuntungan, atau tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga yang
mungkin diderita
peserta atau pemegang polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti; atau
b. memberikan
pembayaran yang didasarkan
pada
meninggalnya peserta atau pembayaran yang
didasarkan pada hidupnya peserta dengan manfaat yang besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.
3. Prinsip
Syariah adalah prinsip
hukum Islam dalam
kegiatan perasuransian berdasarkan fatwa yang
dikeluarkan oleh
lembaga yang memiliki kewenangan
dalam penetapan
fatwa di bidang syariah.
4. Usaha Perasuransian adalah segala usaha
menyangkut
jasa pertanggungan atau pengelolaan risiko,
pertanggungan ulang
risiko, pemasaran dan distribusi
produk asuransi atau produk asuransi syariah,
konsultasi dan keperantaraan asuransi, asuransi
syariah, reasuransi,
atau reasuransi
syariah, atau penilaian kerugian asuransi atau asuransi syariah.
5. Usaha Asuransi Umum
adalah usaha jasa pertanggungan
risiko yang memberikan penggantian kepada
tertanggung atau
pemegang polls karena kerugian, kerusakan, biaya yang
timbul, kehilangan keuntungan,
atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin
diderita tertanggung atau pemegang polls karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
6. Usaha Asuransi Jiwa adalah usaha yang
menyelenggarakan jasa penanggulangan risiko yang
memberikan pembayaran kepada
pemegang polls,
tertanggung,
atau pihak lain yang berhak
dalam hal tertanggung
meninggal dunia atau
tetap hidup, atau pembayaran
lain kepada pemegang polis, tertanggung,
atau
pihak lain yang berhak pada waktu tertentu yang diatur dalam perjanjian, yang besarnya telah
ditetapkan dan/atau didasarkan pada hasil
pengelolaan dana.
7. Usaha
Reasuransi adalah usaha jasa
pertanggungan
ulang terhadap risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi,
perusahaan penjaminan, atau
perusahaan reasuransi lainnya.
8. Usaha Asuransi Umum Syariah adalah usaha
pengelolaan
risiko berdasarkan Prinsip
Syariah guna saling
menolong dan melindungi
dengan memberikan penggantian kepada peserta atau pemegang polis
karena kerugian, kerusakan,
biaya yang timbul,
kehilangan keuntungan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin diderita peserta atau pemegang
polis karena terjadinya suatu peristiwa yang tidak pasti.
9. Usaha
Asuransi Jiwa Syariah adalah usaha pengelolaan
risiko berdasarkan Prinsip Syariah guna saling
menolong dan
melindungi dengan memberikan pembayaran yang didasarkan pada meninggal atau hidupnya peserta,
atau pembayaran
lain kepada peserta atau pihak lain yang berhak pada
waktu tertentu yang
diatur dalam perjanjian, yang
besarnya telah ditetapkan
dan/atau didasarkan pada
hasil pengelolaan dana.
10. Usaha
Reasuransi Syariah adalah
usaha pengelolaan
risiko
berdasarkan Prinsip Syariah
atas risiko yang
dihadapi oleh perusahaan asuransi
syariah, perusahaan
penjaminan syariah, atau perusahaan reasuransi
syariah
lainnya.
11.
Usaha Pialang Asuransi adalah usaha jasa konsultasi
dan/atau keperantaraan dalam penutupan asuransi atau
asuransi syariah serta penanganan penyelesaian
klaimnya dengan
bertindak untuk dan
atas nama
pemegang
polis, tertanggung, atau peserta.
12. Usaha
Pialang Reasuransi adalah usaha jasa konsultasi
dan/atau
keperantaraan dalam penempatan reasuransi
atau
penempatan reasuransi syariah serta penanganan
penyelesaian
klaimnya dengan bertindak untuk dan atas
nama perusahaan
asuransi, perusahaan asuransi
syariah, perusahaan penjaminan, perusahaan
penjaminan syariah, perusahaan reasuransi,
atau
perusahaan reasuransi syariah yang melakukan
penempatan reasuransi atau reasuransi syariah.
13. Usaha
Penilai Kerugian Asuransi
adalah usaha jasa
penilaian
klaim dan/atau jasa konsultasi
atas objek
asuransi.
14. Perusahaan
Perasuransian adalah perusahaan asuransi,
perusahaan
asuransi syariah, perusahaan
reasuransi, perusahaan reasuransi
syariah, perusahaan pialang
asuransi, perusahaan pialang reasuransi, dan
perusahaan penilai kerugian asuransi.
15. Perusahaan Asuransi
adalah perusahaan asuransi umum
dan perusahaan asuransi jiwa.
16.
Perusahaan Asuransi Syariah adalah perusahaan
asuransi umum syariah dan perusahaan asuransi jiwa syariah.
17. Pihak
adalah orang atau
badan usaha, baik
yang
berbentuk badan hukum maupun yang tidak berbentuk
badan hukum.
18. Dana
Jaminan adalah kekayaan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang merupakan jaminan terakhir dalam rangka
melindungi kepentingan pemegang polis, tertanggung,
atau peserta, dalam hal Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah dilikuidasi.
19. Pengendali adalah
Pihak yang secara langsung atau tidak
langsung mempunyai
kemampuan untuk menentukan direksi, dewan
komisaris, atau yang
setara dengan direksi
atau dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama
dan/atau mempengaruhi
tindakan direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi atau dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama.
20. Dana Asuransi adalah kumpulan dana yang
berasal dari
premi yang dibentuk untuk memenuhi kewajiban yang
timbul dari polis
yang diterbitkan atau
dari klaim
asu ran si .
21. Dana
Tabarru' adalah kumpulan dana yang berasal dari
kontribusi para peserta, yang mekanisme
penggunaannya sesuai dengan
perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian
reasuransi syariah.
22. Pemegang
Polis adalah Pihak
yang mengikatkan diri
berdasarkan
perjanjian dengan Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah untuk mendapatkan
pelindungan atau pengelolaan atas risiko bagi
dirinya,
tertanggung, atau peserta lain.
23. Tertanggung
adalah Pihak yang
menghadapi risiko
sebagaimana
diatur dalam perjanjian
Asuransi atau
perjanjian reasuransi.
24. Peserta adalah Pihak
yang menghadapi risiko
sebagaimana
diatur dalam perjanjian Asuransi Syariah atau perjanjian
reasuransi syariah.
25. Objek
Asuransi adalah jiwa
dan raga, kesehatan
manusia,
tanggung jawab hukum, benda dan jasa, serta
semua
kepentingan lainnya yang dapat hilang, rusak,
rugi,
dan/atau berkurang nilainya.
26. Pialang
Asuransi adalah orang
yang bekerja pada
perusahaan
pialang asuransi dan memenuhi persyaratan
untuk
memberi rekomendasi atau mewakili Pemegang
Polis, Tertanggung, atau
Peserta dalam melakukan
penutupan asuransi
atau asuransi syariah
dan/atau
penyelesaian klaim.
27. Pialang Reasuransi
adalah orang yang
bekerja pada
perusahaan pialang reasuransi dan memenuhi
persyaratan untuk memberi
rekomendasi atau mewakili
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan penjaminan, perusahaan penjaminan
syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam melakukan penutupan
reasuransi atau reasuransi syariah dan/atau
penyelesaian
klaim.
28. Agen Asuransi adalah orang yang bekerja
sendiri atau
bekerja
pada badan usaha, yang bertindak untuk dan
atas nama
Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan
Asuransi Syariah
dan memenuhi persyaratan
untuk
mewakili Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah
memasarkan produk asuransi
atau produk asuransi syariah.
29. Premi
adalah sejumlah uang
yang ditetapkan oleh
Perusahaan
Asuransi atau perusahaan reasuransi dan
disetujui oleh
Pemegang Polls
untuk dibayarkan
berdasarkan perjanjian Asuransi atau perjanjian
reasuransi, atau
sejumlah uang yang
ditetapkan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan
yang mendasari program asuransi wajib untuk
memperoleh manfaat.
30. Kontribusi
adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh
Perusahaan Asuransi Syariah atau perusahaan
reasuransi syariah
dan disetujui oleh Pemegang Polls
untuk
dibayarkan berdasarkan perjanjian
Asuransi Syariah atau
perjanjian reasuransi syariah
untuk memperoleh manfaat dari
Dana Tabarru' dan/atau dana investasi Peserta dan
untuk membayar biaya pengelolaan atau sejumlah
uang yang ditetapkan
berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang
mendasari
program asuransi wajib untuk memperoleh manfaat.
31. Afiliasi adalah hubungan antara seseorang
atau badan
hukum
dengan satu orang atau lebih, atau badan hukum
lain,
sedemikian rupa sehingga salah satu dan
mereka
dapat mempengaruhi pengelolaan atau kebijakan dari
orang
yang lain atau
badan hukum yang lain
atau
sebaliknya.
32. Program Asuransi Wajib adalah program yang
diwajibkan
peraturan perundang-undangan bagi
seluruh atau
kelompok
tertentu dalam masyarakat guna mendapatkan
pelindungan
dan risiko tertentu, tidak termasuk program
yang diwajibkan
undang-undang untuk memberikan
pelindungan
dasar bagi masyarakat dengan mekanisme
subsidi
silang dalam penetapan manfaat dan Premi atau
Kontribusinya.
33. Pengelola Statuter
adalah Pihak yang
ditunjuk oleh
Otoritas Jasa Keuangan untuk mengambil alih
kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
34. Setiap Orang
adalah orang perseorangan atau korporasi.
35. Otoritas Jasa Keuangan adalah lembaga
pengatur dan
pengawas
sektor jasa keuangan sebagaimana dimaksud
dalam
undang-undang mengenai otoritas jasa keuangan.
36. Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan
adalah peraturan
tertulis
yang ditetapkan oleh Dewan Komisioner Otoritas
Jasa
Keuangan sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang
mengenai otoritas jasa keuangan_
37. Pemerintah
adalah pemerintah Republik Indonesia.
38. Menteri adalah menteri yang menyelenggarakan
urusan
pemerintahan
di bidang keuangan.
BAB
II
RUANG
LINGKUP USAHA PERASURANSIAN
Pasal
2
( I) Perusahaan asuransi umum hanya dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum,
termasuk lini usaha asuransi
kesehatan dan lini usaha
asuransi kecelakaan diri; dan
b. Usaha Reasuransi untuk
risiko Perusahaan Asuransi
Umum lain.
(2) Perusahaan asuransi jiwa hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa termasuk lini usaha anuitas, lini usaha asuransi kesehatan, dan lini usaha asuransi kecelakaan diri.
(3) Perusahaan reasuransi hanya dapat menyelenggarakan
Usaha Reasuransi.
Pasal
3
( I) Perusahaan asuransi
umum syariah hanya
dapat
menyelenggarakan:
a. Usaha Asuransi Umum Syariah, termasuk lini
usaha
asuransi
kesehatan berdasarkan Prinsip Syariah dan
lini usaha
asuransi kecelakaan diri
berdasarkan
Prinsip
Syariah; dan
b. Usaha Reasuransi Syariah untuk risiko
Perusahaan
Asuransi
Umum Syariah lain.
(2) Perusahaan asuransi jiwa syariah hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Asuransi Jiwa Syariah
termasuk lini usaha
anuitas berdasarkan Prinsip Syariah, lini
usaha asuransi kesehatan
berdasarkan Prinsip Syariah, dan lini
usaha asuransi kecelakaan diri berdasarkan Prinsip
Syariah.
(3) Perusahaan reasuransi syariah hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Reasuransi Syariah.
Pasal 4
(1) Perusahaan pialang asuransi hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Pialang Asuransi.
(2) Perusahaan pialang reasuransi hanya dapat
menyelenggarakan Usaha Pialang Reasuransi.
(3) Perusahaan penilai
kerugian asuransi hanya
dapat
menyelenggarakan Usaha Penilai Kerugian Asuransi.
Pasal 5
(1) Ruang lingkup
Usaha Asuransi Umum
dan Usaha
Asuransi Jiwa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2
ayat
(1) dan ayat (2) serta Usaha Asuransi Umum Syariah
dan Usaha Asuransi
Jiwa Syariah sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 3 ayat
(1) dan ayat (2) dapat diperluas sesuai dengan kebutuhan
masyarakat.
(2) Perluasan ruang lingkup Usaha Asuransi Umum,
Usaha
Asuransi Jiwa, Usaha
Asuransi Umum Syariah,
dan Usaha Asuransi
Jiwa Syariah sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dapat berupa penambahan manfaat yang besarnya didasarkan pada hash'. pengelolaan dana.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
perluasan ruang
lingkup Usaha Asuransi Umum,
Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum
Syariah, dan Usaha Asuransi Jiwa Syariah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB III
BENTUK BADAN HUKUM
DAN KEPEMILIKAN
PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 6
(1) Bentuk badan hukum penyelenggara Usaha
Perasuransian adalah:
a. perseroan
terbatas;
b. koperasi;
atau
c. usaha bersama yang telah ada pada saat
Undang-
Undang ini diundangkan.
(2) Usaha bersama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
huruf c dinyatakan sebagai
badan hukum berdasarkan
Undang-Undang ini.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai badan hukum usaha
bersama
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam Peraturan Pemerintah.
Pasal 7
(1) Perusahaan Perasuransian hanya dapat dimiliki oleh:
a. warga
negara Indonesia dan/atau
badan hukum
Indonesia
yang secara langsung atau tidak langsung
sepenuhnya
dimililfl oleh warga negara Indonesia;
atau
b. warga
negara Indonesia dan/atau
badan hukum
Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam huruf a,
bersama-lama dengan
warga negara asing
atau
badan hukum
asing yang harus merupakan
Perusahaan Perasuransian yang
memiliki usaha
sejenis atau perusahaan
induk yang salah satu anak
perusahaannya bergerak di bidang Usaha
Perasuransian yang
sejenis.
(2) Warga negara asing
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b dapat menjadi pemilik Perusahaan
Perasuransian hanya melalui transaksi di bursa efek.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria badan hukum
asing dan kepemilikan badan hukum asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dan kepemilikan warga negara asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam Perusahaan
Perasuransian diatur dalam
Peraturan Pemerintah.
BAB
IV
PERIZINAN
USAHA
Pasal 8
(1) Setiap Pihak yang melakukan Usaha Perasuransian wajib
terlebih
dahulu mendapat izin usaha dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk
mendapatkan izin usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) harus dipenuhi persyaratan mengenai:
a. anggaran
dasar;
b. susunan
organisasi;
c. modal
disetor;
d. Dana Jaminan;
e.
kepemilikan;
1.
kelayakan
dan kepatutan pemegang
saham dan
Pengendali;
g. kemampuan
dan kepatutan direksi
dan dewan
komisaris,
atau yang secara
dengan direksi dan
dewan komisaris
pada badan hukum
berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dewan pengawas
syariah, aktuaris
perusahaan, dan auditor internal;
h. tenaga ahli;
i. kelayakan rencana kerja;
j. kelayakan sistem
manajemen risiko;
k. produk yang akan
dipasarkan;
1. perikatan
dengan pihak terafiliasi apabila ada dan
kebijakan pengalihan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usaha;
m.
infrastruktur penyiapan dan
penyampaian laporan.
kepada Otoritas Jasa Keuangan;
n. konfirmasi
dan otoritas pengawas
di negara asal
pihak asing, dalam hal terdapat
penyertaan langsung
pihak asing; clan
o. hal lain yang
diperlukan untuk mendukung
pertumbuhan usaha yang sehat.
(3) Persyaratan izin
usaha sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diberlakukan sesuai dengan
jenis usaha yang akan dijalankan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata
cara perizinan usaha sebagaimana
dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 9
Otoritas Jasa Keuangan
menyetujui atau menolak permohonan izin usaha Perusahaan Perasuransian paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak
permohonan diterima secara
lengkap.
(2) Dalam hal Otoritas Jasa
Keuangan menolak permohonan
izin
usaha sebagaimana dimaksud
pada ayat (1),
penolakan harus
clilakukan secara tertulis
dengan disertai alasannya.
Pasal 10
(1) Perusahaan
Perasuransian wajib melaporkan
setiap
pembukaan kantor
di luar kantor
pusatnya kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Kantor Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah di
luar kantor pusatnya yang memiliki kewenangan untuk
membuat keputusan mengenai penerimaan atau
penolakan pertanggungan dan/ atau keputusan
mengenai penerimaan atau penolakan klaim setiap saat wajib
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Perusahaan Perasuransian bertanggung jawab
sepenuhnya
atas setiap kantor
yang dimiliki atau dikelolanya atau yang pemilik atau
pengelolanya diberi izin menggunakan nama
Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai bentuk dan tata cara
pelaporan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
BAB
V
PENYELENGGARAAN
USAHA
Pasal
11
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola perusahaan
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
12
(1) Anggota direksi,
anggota dewan komisaris, atau
yang
setara dengan anggota
direksi dan anggota
dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
anggota dewan pengawas
syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, dan
Pengendali setiap saat
wajib memenuhi persyaratan
kemampuan dan kepatutan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
penilaian
kemampuan dan kepatutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
13
(1) Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah wajib
menetapkan paling sedikit 1 (satu)
Pengendali.
(2) Dalam hal
terdapat Pengendali lain
yang belum
ditetapkan
oleh Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi
syariah, Otoritas Jasa Keuangan
berwenang menetapkan Pengendali
di luar Pengendali
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1).
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
kriteria Pengendali
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 14
(1) Setiap Pihak
yang ditetapkan sebagai
Pengendali
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 13
ayat (1) wajib
dilaporkan kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perubahan Pengendali wajib dilaporkan kepada Otoritas
Jasa Keuangan.
(3) Pihak yang telah ditetapkan menjadi
Pengendali tidak
dapat
berhenti menjadi Pengendali tanpa persetujuan dan Otoritas Jasa Keuangan.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai syarat dan tata cara
memperoleh persetujuan
berhenti sebagai Pengendali sebagaimana dimaksud
pada ayat (3)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 15
Pengendali
wajib ikut bertanggung
jawab atas kerugian
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah
yang disebabkan oleh Pihak dalam pengendaliannya.
Pasal 16
(1) Setiap Pihak hanya dapat
menjadi pemegang saham
pengendali pada 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa, 1
(satu) perusahaan asuransi
umum, 1 (satu) perusahaan
reasuransi, 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa
syariah, 1
(satu) perusahaan asuransi umum syariah, dan 1 (satu) perusahaan reasuransi syariah.
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
berlaku
apabila
pemegang saham pengendali
adalah Negara Republik Indonesia.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
pemegang saham
pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
17
(1) Perusahaan
Perasuransian wajib mempekerjakan tenaga
ahli
dalam jumlah yang cukup sesuai dengan jenis dan lini usaha
yang diselenggarakannya, dalam
rangka memastikan penerapan
manajemen asuransi yang balk.
(2) Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah wajib
mempekerjakan aktuaris dalam jumlah yang cukup sesuai
dengan jenis dan lini usaha yang diselenggarakannya, untuk
secara independen dan sesuai dengan standar praktik
yang berlaku mengelola dampak keuangan dan risiko yang
dihadapi perusahaan.
(3) Ketentuan lebih
lanjut mengenai jenis,
jumlah, dan
persyaratan
tenaga ahli sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan aktuaris
sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 18
(1) Perusahaan Perasuransian
dapat bekerja sama dengan
pihak
lain dalam rangka
memperoleh bisnis atau melaksanakan
sebagian fungsi dalam penyelenggaraan usahanya.
(2) Perusahaan Perasuransian
wajib memastikan bahwa
pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
memiliki izin untuk
menjalankan usahanya dari
instansi yang berwenang.
(3) Perusahaan Perasuransian wajib memiliki dan
menerapkan standar
seleksi dan akuntabilitas dalam pelaksanaan kerja sama sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai kerja sama sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 19
(1) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah
wajib mematuhi ketentuan mengenai kesehatan keuangan.
(2) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah wajib
melakukan evaluasi secara
berkala terhadap kemampuan
Dana Asuransi atau Dana Tabarru' untuk memenuhi klaim
atau kewajiban lain yang timbul dari polis.
(3) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah wajib merencanakan dan menerapkan metode mitigasi risiko
untuk menjaga kesehatan keuangannya.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kesehatan keuangan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan metode
mitigasi risiko sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 20
(1) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah wajib membentuk Dana Jaminan dalam bentuk dan jumlah
yang ditetapkan oleh
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1)
wajib disesuaikan
jumlahnya dengan perkembangan usaha,
dengan ketentuan tidak
kurang dari yang dipersyaratkan pada
awal pendirian.
(3) Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat
dilarang diagunkan atau dibebani dengan hak apa pun.
(4) Dana Jaminan sebagaimana
dimaksud pada ayat
hanya
dapat dipindahkan atau
dicairkan setelah mendapat persetujuan Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Dana JaminanKetentuan lebih
lanjut mengenai
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat
(3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 21
(1) Kekayaan dan
kewajiban yang terkait
dengan hak
Pemegang
Polls, Tertanggung, atau
Peserta wajib dipisahkan dari kekayaan dan
kewajiban yang lain dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah.
(2) Untuk
perusahaan asuransi jiwa syariah, kekayaan dan
kewajiban Peserta
untuk keperluan sating
menolong dalam menghadapi
risiko wajib dipisahkan dari kekayaan dan kewajiban
Peserta untuk keperluan investasi.
(3) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah wajib
menerapkan prinsip kehati-hatian
dan kesesuaian antara
kekayaan dan kewajiban
dalam
menginvestasikan kekayaan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemisahan kekayaan
dan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), dan
investasi kekayaan Pemegang
Polis, Tertanggung,
atau Peserta sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 22
(1) Perusahaan Perasuransian wajib menyampaikan
laporan,
informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penyampaian laporan
sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dapat dilakukan melalui sistem data elektronik.
(3) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah
wajib mengumumkan posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi kesehatan keuangan perusahaan
dalam surat kabar
harian berbahasa Indonesia yang beredar secara nasional dan media elektronik.
(4) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah wajib menyediakan
informasi mengenai posisi keuangan, kinerja
keuangan dan risiko yang dihadapinya kepada pihak yang
berkepentingan dengan cara yang
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah wajib
mengumumkan laporan keuangan
yang telah
diaudit paling lama 1 (satu) bulan setelah batas waktu penyampaian laporan
keuangan tersebut kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai penyampaian laporan
kepada Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan pengumuman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 23
(1) Laporan
tertentu dan hasil
analisis atas laporan
sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
tidak
dapat dibuka oleh Otoritas Jasa Keuangan kepada pihak lain, kecuali kepada:
a. polisi dan
jaksa untuk kepentingan penyidikan;
b. hakim
untuk kepentingan peradilan;
c. pejabat
pajak untuk kepentingan perpajakan;
d. Bank
Indonesia untuk pelaksanaan tugasnya; atau
e. pihak
lain berdasarkan peraturan perundang-
undangan.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai syarat dan tata cara
memperoleh
laporan tertentu dan
hasil analisis atas laporan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
Pasal 24
(1) Penutupan asuransi
atas Objek
Asuransi harus
didasarkan pada asas kebebasan
memilih Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah.
(2) Penutupan Objek
Asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus dilakukan dengan
memperhatikan daya tampung Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah di dalam negeri.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
penutupan Objek
Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
25
Objek
Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah yang mendapatkan izin usaha
dari Otoritas Jasa Keuangan, kecuali dalam hal:
a. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi
Syariah
di Indonesia, baik secara sendiri-sendiri maupun
bersama-sama,
yang memiliki kemampuan menahan atau
mengelola
risiko asuransi atau risiko asuransi syariah dari
Objek
Asuransi yang bersangkutan; atau
b. tidak ada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi
Syariah
di Indonesia yang bersedia melakukan penutupan
asuransi
atau asuransi syariah atas Objek Asuransi yang
bersangkutan.
Pasal 26
(1) Perusahaan Perasuransian wajib
memenuhi standar
perilaku usaha yang mencakup ketentuan mengenai:
a. polls;
b. Premi atau
Kontribusi;
c. underwriting dan pengenalan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta;
d. penyelesaian
klaim;
e. keahlian di
bidang perasuransian;
f. distribusi atau
pemasaran produk;
g. penanganan keluhan Pemegang Polis,
Tertanggung,
atau
Peserta; dan
h. standar lain yang berhubungan dengan
penyelenggaraan usaha.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai standar perilaku usaha
sebagaimana
dimaksud pada ayat ( I) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 27
(1) Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen
Asuransi
wajib terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Pialang
Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
wajib
memilild pengetahuan dan
kemampuan yang cukup serta memiliki reputasi yang baik.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tata
cara pendaftaran Pialang
Asuransi, Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 28
(1) Premi atau Kontribusi dapat
dibayarkan langsung oleh
Pemegang Polls
atau Peserta kepada
Perusahaan Asuransi atau
Perusahaan Asuransi Syariah,
atau dibayarkan melalui Agen
Asuransi.
(2) Agen Asuransi hanya
dapat menerima pembayaran Premi
atau Kontribusi dari Pemegang Polls atau Peserta
setelah mendapatkan persetujuan
dari Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah.
(3) Pertanggungan
dinyatakan mulai berlaku dan mengikat
para Pihak terhitung
sejak Premi atau
Kontribusi diterima oleh Agen
Asuransi.
(4) Agen Asuransi dilarang
menahan atau mengelola Premi
atau Kontribusi.
(5) Agen Asuransi
dilarang menggelapkan Premi
atau
Kontribusi.
(6) Dalam
hal Premi atau Kontribusi dibayarkan melalui
Agen Asuransi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2), Agen Asuransi wajib menyerahkan Premi
atau Kontribusi
tersebut kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah dalam jangka waktu yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
(7) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
wajib
bertanggung jawab atas pembayaran klaim yang timbul apabila Agen Asuransi telah menerima Premi atau Kontribusi, tetapi belum
menyerahkannya kepada Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah tersebut.
(8) Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
wajib
membayarkan imbalan jasa keperantaraan kepada Agen Asuransi
segera setelah menerima
Premi atau Kontribusi.
Pasal 29
(1) Premi
atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh
Pemegang
Polls atau Peserta
kepada Perusahaan Asuransi atau Perusahaan
Asuransi Syariah, atau dibayarkan melalui
perusahaan pialang asuransi.
(2) Premi
atau Kontribusi dapat dibayarkan langsung oleh
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
kepada perusahaan reasuransi atau perusahaan
reasuransi
syariah, atau dibayarkan melalui perusahaan pialang
reasuransi.
(3) Perusahaan pialang
asuransi dan perusahaan pialang
reasuransi
dilarang menahan atau mengelola Premi atau Kontribusi.
(4) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan
pialang
reasuransi dilarang menggelapkan Premi atau Kontribusi.
(5) Dalam hal Premi
atau Kontribusi dibayarkan melalui
perusahaan
pialang asuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) atau
melalui perusahaan pialang reasuransi sebagaimana
dimaksud pada ayat (2), perusahaan pialang
asuransi atau perusahaan
pialang reasuransi wajib
menyerahkan Premi atau
Kontribusi tersebut kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
dalam jangka waktu yang
diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
(6) Dalam hal penyerahan Premi atau Kontribusi dilakukan
oleh
perusahaan pialang asuransi
atau perusahaan pialang reasuransi setelah
berakhirnya jangka waktu sebagaimana
dimaksud pada ayat (5), perusahaan pialang asuransi
atau perusahaan pialang
reasuransi wajib bertanggung jawab
atas pembayaran klaim yang timbul dari kerugian yang terjadi setelah berakhirnya
jangka waktu tersebut.
(7) Perusahaan pialang asuransi dan
perusahaan pialang
reasuransi
mendapatkan imbalan jasa
keperantaraan dari Pemegang Polis
atas jasa keperantaraannya.
Pasal 30
(1) Perusahaan pialang
asuransi dilarang menempatkan
penutupan asuransi atau penutupan asuransi syariah pada Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi Syariah yang merupakan Afiliasi
dari Pialang Asuransi
atau perusahaan pialang asuransi yang bersangkutan.
(2) Perusahaan pialang
reasuransi dilarang menempatkan
penutupan
reasuransi atau penutupan
reasuransi syariah
pada perusahaan reasuransi atau perusahaan reasuransi syariah yang merupakan Afiliasi dari Pialang Reasuransi atau
perusahaan pialang reasuransi yang bersangkutan.
(3) Perusahaan pialang asuransi dan perusahaan
pialang
reasuransi
bertanggung jawab atas tindakan
Pialang Asuransi dan
Pialang Reasuransi yang
memberikan rekomendasi kepada Pemegang Polis terkait penutupan asuransi atau penutupan
reasuransi.
Pasal 31
(1) Agen
Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang
Reasuransi,
dan Perusahaan
Perasuransian wajib menerapkan segenap
keahlian, perhatian, dan
kecermatan dalam melayani atau
bertransaksi dengan Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta.
(2) Agen
Asuransi, Pialang Asuransi, Pialang Reasuransi,
dan
Perusahaan Perasuransian wajib
memberikan informasi yang
benar, tidak palsu,
dan /atau tidak menyesatkan kepada Pemegang Polls, Tertanggung, atau
Peserta mengenai
risiko, manfaat,
kewajiban dan pembebanan biaya terkait dengan
produk asuransi atau produk asuransi
syariah yang ditawarkan.
(3) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
perusahaan reasuransi syariah, perusahaan
pialang asuransi, dan perusahaan pialang reasuransi
wajib menangani klaim dan keluhan melalui
proses yang cepat, sederhana, mudah diakses, dan
adil.
(4) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah dilarang melakukan
tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim, atau tidak melakukan
tindakan yang seharusnya
dilakukan sehingga mengakibatkan kelambatan
penyelesaian atau pembayaran klaim.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penanganan klaim dan
keluhan
melalui proses yang cepat, sederhana, mudah diakses,
dan adil sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
32
(1) Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan
perusahaan pialang asuransi wajib menerapkan
kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan
pendanaan
terorisme.
(2) Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, dan
perusahaan pialang asuransi wajib mendapatkan
informasi
yang cukup mengenai calon Pemegang Polls, Tertanggung, Peserta,
atau pihak lain
yang terkait dengan penutupan asuransi atau asuransi syariah untuk
dapat menerapkan kebijakan anti pencucian uang dan pencegahan pendanaan terorisme.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai
penerapan kebijakan
anti pencucian uang
dan pencegahan pendanaan
terorisme bagi Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah,
dan perusahaan pialang
asuransi sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal
33
Setiap Orang dilarang melakukan pemalsuan atas dokumen
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
Pasal 34
Anggota direksi
dan/atau
pihak yang berwenang
menandatangani
polis dari Perusahaan
Asuransi atau
Perusahaan. Asuransi Syariah yang dikenai sanksi
pembatasan
kegiatan usaha dilarang menandatangani polis baru.
BAB
VI
TATA
KELOLA USAHA PERASURANSIAN
BERBENTUK
KOPERASI DAN USAHA BERSAMA
Pasal
35
(1) Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c hanya dapat menyelenggarakan jasa
asuransi atau jasa
asuransi syariah bagi anggotanya.
(2) Setiap anggota dari Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau
anggota usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf c wajib menjadi Pemegang Polis dari
perusahaan yang bersangkutan.
(3) Keanggotaan pada Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi
Syariah berbentuk koperasi atau keanggotaan pada
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf c berakhir apabila:
a. anggota
meninggal dunia;
b. anggota
tidak lagi memiliki
polis asuransi dari
Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi
Syariah
yang bersangkutan selama 6 (enam) bulan
berturut-turut; atau
c. sesuai
dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan,
keanggotaan harus berakhir.
(4) Anggota dari
Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan
Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau anggota dari usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c berhak atas
seluruh keuntungan dan wajib menanggung seluruh
kerugian dari kegiatan usaha
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan keuangan
untuk menjadi anggota sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dan ayat (2)
serta pemanfaatan
keuntungan oleh anggota dan
pembebanan kerugian di antara anggota sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) dari Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
berbentuk koperasi atau anggota dari usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan.
BAB
VII
PENINGKATAN KAPASITAS ASURANSI, ASURANSI
SYARIAH, REASURANSI,
DAN
REASURANSI SYARIAH DALAM NEGERI
Pasal
36
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah wajib mengoptimalkan pemanfaatan
kapasitas asuransi, asuransi
syariah, reasuransi, dan/atau
reasuransi syariah dalam negeri.
Pasal 37
Pemerintah
dan/atau Otoritas Jasa Keuangan
mendorong peningkatan kapasitas
asuransi, asuransi syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi
syariah dalam negeri guna memenuhi kebutuhan pertanggungan asuransi, asuransi
syariah, reasuransi, dan/atau reasuransi
syariah dalam negeri.
Pasal 38
Pemerintah dapat
memberikan fasilitas fiskal
kepada perseorangan,
rumah tangga, dan/atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong pemanfaatan jasa asuransi, asuransi syariah,
reasuransi, dan/atau reasuransi
syariah dalam pengelolaan risiko
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
PROGRAM ASURANSI WAJIB
Pasal 39
(1) Program
Asuransi Wajib harus diselenggarakan secara
kompetitif.
(2) Pengaturan
Program Asuransi Wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) paling sedikit memuat:
a. cakupan
kepesertaan;
b. hak dan
kewajiban Tertanggung atau Peserta;
c. Premi atau
Kontribusi;
d. manfaat atau santunan;
e. tata
cara klaim dan
pembayaran manfaat atau
santunan;
f. kriteria
penyelenggara;
g. hak dan
kewajiban penyelenggara; dan
h.
keterbukaan informasi.
(3) Pihak yang dapat menyelenggarakan Program Asuransi
Wajib sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) harus
memenuhi persyaratan yang ditetapkan Otoritas Jasa
Keuangan.
(4) Penyelenggara
Program Asuransi Wajib
sebagaimana
dimaksud pada
ayat (3) dapat menawarkan
manfaat
tambahan dengan tambahan Premi atau Kontribusi.
(5) Penyelenggara
Program Asuransi Wajib
sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dilarang
memaksa Pemegang Polis untuk
menerima tawaran manfaat
tambahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (4).
BAB
IX
PERUBAHAN
KEPEMILIKAN, PENGGABUNGAN, DAN PELEBURAN
Pasal 40
(1) Setiap perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian wajib terlebih dahulu memperoleh
persetujuan Otoritas Jasa
Keuangan.
(2) Dalam hal perubahan kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) merupakan perubahan
kepemilikan yang mengakibatkan terdapatnya
penyertaan
langsung oleh pihak
asing di dalam Perusahaan Perasuransian,
pihak asing tersebut harus merupakan Perusahaan
Perasuransian yang memiliki usaha
sejenis atau perusahaan induk yang salah satu
anak perusahaannya bergerak di bidang Usaha
Perasuransian yang sejenis.
(3) Ketentuan
mengenai Perusahaan Perasuransian
yang
memiliki usaha
sejenis atau kepemilikan
perusahaan induk atas anak
perusahaan yang bergerak di bidang
Usaha Perasuransian yang sejenis sebagaimana
dimaksud pada
ayat (2) wajib tetap
dipenuhi selama
pihak asing tersebut memiliki penyertaan pada
Perusahaan Perasuransian.
(4) Peru bahan kepemilikan Perusahaan Perasuransian
melalui
transaksi di bursa
efek dikecualikan dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sepanjang tidak menyebabkan perubahan pengendalian pada Perusahaan Perasuransian tersebut.
(5) Untuk memperoleh persetujuan, perubahan kepemilikan
Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a. perubahan
kepemilikan tersebut tidak
mengurangi
hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi
Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan Asuransi
Syariah;
dan
b. perubahan
kepemilikan tersebut tidak
mengurangi
hak
penanggung, penanggung ulang, atau pengelola,
bagi perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah.
(6) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
tata cara dan
persyaratan perubahan kepemilikan Perusahaan
Perasuransian sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat
(2),
ayat (3), ayat (4), dan ayat (5) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
41
(1) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang melakukan
penggabungan atau peleburan wajib
terlebih dahulu memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Penggabungan
atau peleburan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) hanya dapat dilakukan antar Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah yang bidang
usahanya sejenis.
(3) Untuk
memperoleh persetujuan, penggabungan
atau
peleburan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi ketentuan:
a.
penggabungan atau peleburan tersebut tidak
mengurangi hak Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta, bagi Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah; dan
b. kondisi keuangan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan
reasuransi syariah hasil penggabungan
atau peleburan
tersebut harus tetap
memenuhi
ketentuan
tingkat kesehatan keuangan.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai penggabungan
atau
peleburan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB X
PEMBUBARAN, LIKUIDASI, DAN KEPAILITAN
Pasal 42
(1) Perusahaan
Perasuransian yang menghentikan kegiatan
usahanya wajib
terlebih dahulu melaporkan
rencana penghentian
kegiatan usaha kepada
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Perusahaan Perasuransian sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) wajib
terlebih dahulu menyelesaikan
seluruh
kewajibannya.
(3) Dalam
hal Perusahaan Perasuransian sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) telah menyelesaikan
seluruh
kewajibannya,
Otoritas Jasa Keuangan mencabut izin usaha Perusahaan Perasuransian yang bersangkutan.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penghentian
kegiatan
usaha
sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) dan
penyelesaian kewajiban Perusahaan Perasuransian
sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur
dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 43
(1) Perusahaan Perasuransian
yang dicabut izin usahanya
wajib menghentikan kegiatan usahanya.
(2) Pemegang saham, direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan
pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
c, dan
pegawai Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah dilarang
mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau
menggunakan kekayaan, atau
melakukan tindakan lain yang
dapat mengurangi aset atau menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi
syariah sejak dicabut izin usahanya.
Pasal 44
(1) Paling lama 30 (tiga
puluh) hari sejak tanggal dicabutnya
izin usaha, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah yang dicabut izin usahanya wajib menyelenggarakan rapat umum pemegang saham atau yang setara dengan rapat umum
pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c
untuk memutuskan pembubaran badan hukum
perusahaan
yang bersangkutan dan
membentuk tim likuidasi.
(2) Apabila dalam jangka
waktu sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) rapat umum
pemegang saham atau yang setara dengan rapat
umum pemegang saham pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha
bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c tidak dapat
diselenggarakan atau rapat umum pemegang saham
atau yang setara dengan rapat umum pemegang saham
pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat ( I) huruf c dapat diselenggarakan, tetapi
tidak
berhasil memutuskan
pembubaran badan hukum
perusahaan dan tidak
berhasil membentuk tim likuidasi, Otoritas Jasa
Keuangan:
a. memutuskan pembubaran badan hukum perusahaan
dan membentuk tim likuidasi;
b. mendaftarkan
dan memberitahukan pembubaran
badan
hukum perusahaan kepada
instansi yang
berwenang, serta mengumumkannya dalam
Berita
Negara Republik Indonesia dan 2 (dua) surat kabar
harian yang mempunyai peredaran yang luas;
c. memerintahkan tim likuidasi melaksanakan
likuidasi
sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; dan
d. memerintahkan tim
likuidasi melaporkan hasil
pelaksanaan likuidasi.
(3) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
pembentukan tim
likuidasi dan pelaporan hasil pelaksanaan likuidasi
oleh tim
likuidasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 45
(1) Sejak terbentuknya tim likuidasi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 44 ayat (1) dan ayat (2), tanggung jawab dan
kepengurusan Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah dalam ilkuidasi
dilaksanakan oleh tim likuidasi.
(2) Tim likuidasi berwenang mewakili Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah
dalam likuidasi dalam segala hal yang berkaitan dengan penyelesaian hak dan
kewajiban Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan likuidasi
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 46
(1) Sejak
terbentuknya tim likuidasi,
direksi dan dewan
komisaris,
atau yang setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6
ayat (1) huruf c,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi
syariah dalam likuidasi
tidak memiliki kewenangan
sebagai direksi dan
dewan komisaris, atau yang
setara dengan direksi dan dewan komisaris pada badan hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6
ayat (1) huruf
c, Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
(2) Pemegang saham, direksi,
dewan komisaris, atau yang
setara dengan
pemegang saham, direksi,
dan dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan
pegawai Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam likuidasi wajib memberikan data,
informasi, dan dokumen yang diperlukan oleh tim
likuidasi.
(3) Pemegang saham, direksi, dewan
komisaris, atau yang
setara
dengan pemegang saham,
direksi, dan dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
c, dan
pegawai Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam
likuidasi dilarang menghambat
proses likuidasi.
Pasal 47
(1) Seluruh biaya
pelaksanaan likuidasi yang
tercantum
dalam
daftar biaya likuidasi
menjadi beban aset Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah dalam likuidasi
dan dikeluarkan terlebih dahulu dari setiap hasil
pencairannya.
(2) Dalam hal terdapat sisa hasil likuidasi
setelah dilakukan
pembayaran atas seluruh kewajiban Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah dalam likuidasi,
sisa hasil likuidasi tersebut merupakan hak pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada
badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
Pasal 48
(1) Dalam hal
terdapat sisa hasil
likuidasi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2), tagihan yang timbul dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak proses likuidasi
selesai diajukan melalui Otoritas Jasa Keuangan kepada pemegang saham atau yang
setara dengan pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c.
(2) Tagihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dibebankan
pada sisa hasil likuidasi yang merupakan hak pemegang saham atau
yang setara dengan pemegang saham pada
badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c.
Pasal 49
(1) Tim
likuidasi harus bertindak adil dan objektif dalam
melaksanakan tugasnya.
(2) Dalam hal terjadi benturan kepentingan antara
kepentingan
pemegang saham atau yang setara dengan pemegang saham pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf c
dan kepentingan Pemegang Polls,
Tertanggung, atau Peserta, tim likuidasi harus
mengutamakan kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Pasal 50
(1) Permohonan
pernyataan pailit terhadap
Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
berdasarkan Undang-Undang ini hanya dapat diajukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Tata cara dan persyaratan permohonan pernyataan
pailit
terhadap Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan.
(3) Permohonan pernyataan
pailit terhadap Perusahaan
Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) tidak dapat
diajukan dalam rangka mengeksekusi putusan
pengadilan.
Pasal 51
(1) Kreditor menyampaikan
permohonan kepada Otoritas
Jasa Keuangan untuk mengajukan permohonan
pernyataan pailit
kepada pengadilan niaga.
(2) Otoritas Jasa
Keuangan menyetujui atau
menolak
permohonan yang disampaikan oleh kreditor
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak permohonan diterima secara
lengkap.
(3) Dalam hal Otoritas Jasa Keuangan menolak permohonan
yang disampaikan oleh kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (2), penolakan harus dilakukan secara
tertulis dengan disertai alasannya.
(4) Ketentuan lebih
lanjut mengenai tata
cara dan
persyaratan permohonan dan
kreditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 52
(1) Dalam
hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah dipailitkan atau
dilikuidasi, hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta
atas
pembagian harta kekayaannya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hak pihak lainnya.
(2) Dalam hal
Perusahaan Asuransi atau
perusahaan
reasuransi dipailitkan atau
dilikuidasi, Dana Asuransi hams digunakan
terlebih dahulu untuk
memenuhi kewajiban kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau pihak lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(3) Dalam hal terdapat
kelebihan Dana Asuransi setelah
pemenuhan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kelebihan Dana Asuransi tersebut dapat digunakan
untuk memenuhi kewajiban kepada pihak ketiga selain Pemegang Polis,
Tertanggung, atau pihak
lain yang berhak atas manfaat asuransi.
(4) Dalam hal Perusahaan Asuransi Syariah atau
perusahaan reasuransi syariah dipailitkan atau
dilikuidasi, Dana Tabarru' dan dana investasi peserta tidak dapat digunakan untuk membayar kewajiban
selain kepada Peserta.
BAB XI
PELINDUNGAN PEMEGANG
POLIS, TERTANGGUNG,
ATAU PESERTA
Pasal 53
(1) Perusahaan
Asuransi dan Perusahaan Asuransi Syariah
wajib menjadi peserta program penjaminan polis.
(2) Penyelenggaraan
program penjaminan polis sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diatur dengan undang-undang.
(3) Pada saat program penjaminan polis berlaku
berdasarkan undang-undang sebagaimana
dimaksud
pada ayat (2),
ketentuan mengenai Dana Jaminan
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (2) huruf d
dan Pasal 20 dinyatakan tidak berlaku untuk
Perusahaan Asuransi
dan Perusahaan Asuransi Syariah.
(4) Undang-undang sebagaimana
dimaksud pada ayat (2)
dibentuk paling
lama 3 (tiga)
tahun sejak Undang-
Undang ini diundangkan.
Pasal 54
(I) Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah wajib
menjadi anggota lembaga
mediasi yang berfungsi melakukan
penyelesaian sengketa antara
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah dan Pemegang Polis, Tertanggung, Peserta, atau
pihak lain yang berhak memperoleh manfaat asuransi.
(2) Lembaga
mediasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
bersifat independen dan imparsial.
(3) Lembaga mediasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1)
harus mendapat persetujuan tertulis dan Otoritas Jasa. Keuangan.
(4) Kesepakatan mediasi
bersifat final dan mengikat bagi
pares Pihak.
(5) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
lembaga mediasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XII
PROFESI PENYEDIA JASA BAGI PERUSAHAAN PERASURANSIAN
Pasal 55
(1) Profesi penyedia jasa
bagi Perusahaan Perasuransian
terdiri atas:
a. konsultan aktuaria;
b. akuntan
publik;
c. penilai;
dan
d. profesi
lain yang ditetapkan
dengan Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Untuk dapat
menyediakan jasa bagi
Perusahaan
Perasuransian, profesi
penyedia jasa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib terlebih dahulu terdaftar di Otoritas Jasa Keuangan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan testa
cara pendaftaran
profesi penyedia jasa
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat (2)
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 56
(1) Pendaftaran profesi penyedia jasa sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 55 ayat (2) menjadi batal apabila izin profesi
yang bersangkutan dicabut oleh instansi yang
berwenang.
(2) Jasa dan profesi penyedia
jasa sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
yang diberikan sebelum
dibatalkannya
pendaftaran pmfesi
dinyatakan tetap berlaku,
kecuali apabila jasa
yang diberikan tersebut
merupakan penyebab dibatalkannya
pendaftaran atau dicabutnya izin
profesi yang bersangkutan.
(3) Dalam hal pendaftaran profesi penyedia jasa menjadi
batal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan dapat melakukan pemeriksaan atau penilaian atas jasa lain
yang diberikan profesi
penyedia jasa tersebut kepada
Perusahaan Perasuransian untuk menentukan berlaku atau
tidak berlakunya jasa tersebut.
(4) Dalam hal Otoritas Jasa
Keuangan memutuskan bahwa
jasa
yang diberikan oleh profesi penyedia jasa
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3)
tidak berlaku,
Otoritas Jasa Keuangan dapat memerintahkan
Perusahaan
Perasuransian yang menggunakan
jasa profesi penyedia jasa tersebut untuk
menunjuk profesi penyedia lain untuk
melakukan kembali jasa yang sama.
BAB
XIII
PENGATURAN
DAN PENGAWASAN
Pasal
57
(1) Pengaturan dan pengawasan kegiatan Usaha
Perasuransian dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan.
(2) Menteri menetapkan kebijakan
umum dalam rangka
pengembangan pemanfaatan
asuransi dan reasuransi untuk
mendukung perekonomian nasional.
Pasal 58
Otoritas Jasa Keuangan
harus mengupayakan terciptanya persaingan
usaha yang sehat di bidang Usaha Perasuransian.
Pasal 59
(1) Otoritas Jasa Keuangan
dapat menugaskan pihak
tertentu
untuk dan atas nama Otoritas Jasa Keuangan melaksanakan sebagian
dari fungsi pengaturan
dan pengawasan.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penugasan
dan pelaksanaan
sebagian fungsi pengaturan
dan pengawasan oleh pihak tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur
dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 60
(1) Dalam rangka pelaksanaan
fungsi pengaturan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat (1), Otoritas Jasa Keuangan menetapkan
peraturan perundangundangan di bidang perasuransian.
(2) Dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 57 ayat
(1), Otoritas Jasa Keuangan berwenang:
a. menyetujui
atau menolak memberikan
izin Usaha
Perasuransian;
b. mencabut izin
Usaha Perasuransian;
c. menyetujui
atau menolak memberikan
pernyataan
pendaftaran
bagi konsultan aktuaria, akuntan publik,
penilai,
atau pihak lain yang memberikan jasa kepada
Perusahaan
Perasuransian;
d. membatalkan pernyataan pendaftaran bagi konsultan
aktuaria, akuntan publik,
penilai, atau pihak
lain
yang memberikan jasa kepada Perusahaan
Perasuransian;
e. mewajibkan Perusahaan Perasuransian
menyampaikan laporan
secara berkala;
f. melakukan pemeriksaan terhadap Peru sahaan
Perasuransian dan
pihak lain yang
sedang atau
pernah menjadi pihak terafiliasi atau memberikan
jasa kepada Perusahaan
Perasuransian;
g. menetapkan Pengendali
dan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah;
h. menyetujui atau
mencabut persetujuan suatu Pihak
menjadi Pengendali Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah;
i. mewajibkan
suatu Pihak untuk
berhenti menjadi
Pengendali dan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah;
j. melakukan
penilaian kemampuan dan
kepatutan
terhadap direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha
bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, dan
Pengendali;
k. menonaktifkan direksi, dewan komisaris, atau
yang
setara dengan
direksi dan dewan
komisaris pada
badan hukum
berbentuk koperasi
atau usaha
bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1)
huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah, dan menetapkan
Pengelola Statuter;
1. memberi perintah tertulis
kepada:
1. pihak tertentu untuk membuat laporan mengenai
hal tertentu, atas biaya Perusahaan
Perasuransian dan disampaikan kepada Otoritas Jasa Keuangan;
2.
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi
syariah untuk mengalihkan sebagian atau seluruh
portofolio pertanggungannya kepada
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain;
3. Perusahaan
Perasuransian untuk melakukan atau
tidak
melakukan hal tertentu
guna memenuhi ketentuan peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian;
4. Perusahaan
Perasuransian untuk memperbaiki
atau menyempurnakan sistem pengendalian
intern untuk mengidentifikasi dan
menghindari pemanfaatan Perusahaan
Perasuransian untuk kejahatan keuangan;
5. Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi
Syariah untuk menghentikan pemasaran produk
asuransi tertentu; dan
6. Perusahaan Perasuransian
untuk menggantikan
seseorang dari jabatan atau
posisi tertentu, atau menunjuk
seseorang dengan kualifikasi tertentu untuk
menempati jabatan atau posisi tertentu, dalam hal orang tersebut tidak
kompeten, tidak
memenuhi kualifikasi tertentu, tidak
berpengalaman,
atau melakukan pelanggaran
terhadap ketentuan peraturan perundang-
undangan di bidang perasuransian;
m. mengenakan sanksi kepada Perusahaan
Perasuransian,
pemegang saham, direksi,
dewan komisaris, atau yang
setara dengan pemegang saham, direksi, dan dewan
komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, dan/atau auditor internal; dan
n. melaksanakan kewenangan lain berdasarkan
peraturan perundang- undangan.
Pasal 61
(1) Pemeriksaan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat
(2) huruf f dilakukan secara berkala dan /atau
sewaktuwaktu.
(2) Otoritas
Jasa Keuangan dapat menugaskan pihak lain
untuk dan
atas nama Otoritas
Jasa Keuangan melakukan
pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1).
(3) Untuk tujuan
pemeriksaan, anggota direksi,
anggota
dewan komisaris,
atau yang setara
dengan anggota direksi dan anggota dewan komisaris pada badan hukum
berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, auditor internal, pegawai
lain, pemegang saham,
Pengendali, pihak terafiliasi, dan pihak yang menerima pengalihan
sebagian fungsi dalam penyelenggaraan
usaha untuk kepentingan Perusahaan Perasuransian wajib memberikan keterangan dan/atau data,
kesempatan untuk melihat
semua pembukuan,
catatan, dokumen, dan sarana fisik yang berkaitan
dengan kegiatan usahanya dan hal lain yang diperlukan oleh pemeriksa.
(4) Untuk
tujuan pemeriksaan, pihak yang pernah menjadi
anggota direksi,
anggota dewan komisaris, atau yang setara dengan
anggota direksi
dan anggota dewan komisaris
pada badan hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
c, dewan
pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal,
pegawai lain, pemegang saham, Pengendali, pihak
terafiliasi, dan pihak yang
menerima pengalihan sebagian fungsi dalam
penyelenggaraan usaha untuk kepentingan Perusahaan
Perasuransian, wajib memberikan keterangan dan/atau data, kesempatan
untuk melihat semua
pembukuan, catatan, dokumen,
dan sarana fisik
yang berkaitan dengan kegiatan Usaha Perasuransian
yang diperlukan oleh pemeriksa.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai
prosedur dan tata cara
pemeriksaan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) serta kriteria dan tata
cara penugasan pihak lain sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 62
(1) Otoritas
Jasa Keuangan dapat menonaktifkan direksi,
dewan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan
dewan komisaris pada badan hukum berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal
6 ayat (1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah,
serta menetapkan Pengelola
Statuter untuk mengambil alih kepengurusan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah, dalam hal:
a. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah
tersebut telah dikenai
sanksi pembatasan
kegiatan usaha;
b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah
tersebut memberikan informasi
kepada
Otoritas Jasa Keuangan bahwa menurut
pertimbangannya perusahaan
diperkirakan tidak
mampu memenuhi kewajibannya atau akan
menghentikan pelunasan
kewajiban yang jatuh
tempo;
c. menurut
pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan,
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi
syariah tersebut diperkirakan tidak mampu
memenuhi
kewajiban atau akan
menghentikan pelunasan kewajiban
yang jatuh tempo;
d. menurut
pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan,
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan
reasuransi
syariah
tersebut melakukan kegiatan
usaha yang
tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan di
bidang perasuransian atau
secara
finansial dinilai tidak sehat; atau
e. menurut
pertimbangan Otoritas Jasa
Keuangan,
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah
tersebut dimanfaatkan untuk memfasilitasi
dan/atau
melakukan kejahatan keuangan.
(2) Pengelola
Statuter yang telah ditetapkan oleh Otoritas
Jasa Keuangan mempunyai tugas:
a. menyelamatkan kekayaan dan/atau kumpulan dana
peserta
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi
syariah;
b. mengendalikan dan mengelola kegiatan usaha
dari
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah
sesuai dengan Undang-Undang ini;
c. menyusun
langkah-langkah apabila Perusahaan
Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah
tersebut
masih dapat diselamatkan;
d. mengajukan usulan
agar Otoritas Jasa
Keuangan
mencabut izin usaha Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah apabila perusahaan
tersebut dinilai tidak
dapat diselamatkan; dan
e. melaporkan kegiatannya
kepada Otoritas Jasa
Keuangan.
(3) Pada saat Pengelola Statuter mulai melakukan
pengambilalihan kepengurusan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah, maka:
a. direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan
direksi dan
dewan komisaris pada
badan hukum
berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
dewan pengawas
syariah tidak dapat
melakukan
tindakan
selaku direksi, dewan komisaris, atau yang
setara dengan
direksi dan dewan
komisaris pada
badan hukum
berbentuk koperasi atau
usaha
bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c, dan/atau dewan pengawas syariah; dan
b. direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan
direksi dan
dewan komisaris pada badan
hukum
berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
dewan
pengawas syariah nonaktif wajib membantu
Pengelola Statuter dalam menjalankan fungsi
kepenguru san.
(4) Direksi,
dewan komisaris, atau
yang setara dengan
direksi dan
dewan komisaris pada
badan hukum
berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, dan/atau
dewan pengawas syariah nonaktif dilarang
mengundurkan din selama
fungsi kepengurusan diambil
alih oleh Pengelola
Statuter.
(5) Otoritas Jasa Keuangan setiap saat dapat
memberhentikan Pengelola
Statuter.
(6) Ketentuan lebih lanjut
mengenai penetapan, tugas, masa
tugas, dan pemberhentian Pengelola Statuter
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat
(5) serta hak dan
kewajiban direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan
direksi dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dan/atau dewan pengawas syariah
nonaktif sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) dan ayat (4) diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal
63
(1) Pengelola Statuter dalam melaksanakan tugasnya wajib
mematuhi peraturan
perundang-undangan di bidang perasuransian.
(2) Pengelola Statuter
wajib mematuhi setiap
perintah
tertulis dari Otoritas Jasa Keuangan mengenai
pengendalian dan
pengelolaan kegiatan
usaha dari
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan
reasuransi syariah.
(3) Pengelola
Statuter mengambil alih
pengendalian dan
pengelolaan
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah
sejak tanggal penetapan
sebagai Pengelola Statuter.
(4) Pengelola Statuter memiliki seluruh wewenang dan
fungsi
direksi, dewan komisaris,
atau yang setara
dengan direksi dan
dewan komisaris pada
badan hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dan/atau dewan pengawas
syariah dari Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah.
(5) Selain kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (4),
Pengelola Statuter juga memiliki kewenangan:
a. membatalkan atau mengakhiri perjanjian yang
dibuat
oleh Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah
dengan pihak ketiga,
yang
menurut Pengelola Statuter dapat merugikan
kepentingan perusahaan dan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta;
dan
b. melakukan pengalihan sebagian atau seluruh
portofolio pertanggungan Peru sahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah, yang menurut Pengelola
Statuter dapat mencegah kerugian lebih besar bagi Pemegang
Polis, Tertanggung, atau Peserta.
Pasal 64
Pengelola Statuter
bertanggung jawab atas kerugian
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah dan/atau pihak ketiga jika kerugian tersebut disebabkan
oleh kecurangan, ketidakjujuran, atau kesengajaannya untuk tidak mematuhi ketentuan peraturan perundangan-undangan
di bidang perasuransian.
Pasal 65
(1) Pengendalian dan
pengelolaan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah
oleh Pengelola Statuter berakhir
apabila Otoritas Jasa
Keuangan memutuskan:
a. pengendalian dan pengelolaan Perusahaan
Asuransi,
Peru sahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah oleh Pengelola Statuter tidak diperlukan lagi; atau
b. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah telah dicabut izin usahanya.
(2) Pengelola Statuter wajib mempertanggungjawabkan
segala keputusan dan
tindakannya dalam mengendalikan
dan mengelola Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi
syariah kepada Otoritas
Jasa
Keuangan.
Pasal 66
(1) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 60
ayat (2) hung 1
diberikan dalam hal
Otoritas Jasa
Keuangan berkesimpulan bahwa Perusahaan
Perasuransian:
a. menjalankan kegiatan usahanya dengan cara
tidak
hati-hati dan tidak wajar atau tidak sehat secara
finansial;
b. diperkirakan
akan mengalami keadaan
keuangan
yang tidak
sehat atau akan
gagal memenuhi
kewajibannya;
c. melanggar peraturan perundang-undangan di
bidang
perasuransian; dan/atau
d. terlibat
kejahatan keuangan.
(2) Perintah
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
juga
dapat diberikan kepada Pengendali dari Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah.
(3) Perusahaan
Perasuransian dan/atau Pengendali
dari
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan reasuransi syariah wajib mematuhi perintah
tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2).
(4) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) tidak dapat
dijadikan alasan oleh pihak yang
melakukan perjanjian dengan
Perusahaan Perasuransian
untuk membatalkan atau menolak perjanjian,
menghindari kewajiban yang
ditentukan di dalam
perjanjian, atau
melakukan hal apa
pun yang dapat mengakibatkan kerugian
bagi Perusahaan Perasuransian.
(5) Pihak sebagaimana
dimaksud pada ayat (4) berhak
mendapatkan ganti kerugian dari Peru sahaan
Perasuransian apabila menderita kerugian yang
disebabkan
oleh perintah tertulis yang diberikan kepada Perusahaan Perasuransian.
(6) Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (5) tidak
berlaku apabila pihak
yang bersangkutan merupakan pihak
terafiliasi atau pihak yang terkait dengan keadaan yang
menyebabkan dikeluarkannya perintah
tertulis tersebut oleh Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal 67
Pihak
lain yang ditunjuk atau ditugasi oleh Otoritas Jasa Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59 ayat (1) dan Pasal 61 ayat (2) dilarang menggunakan atau mengungkapkan informasi apa pun yang bersifat rahasia kepada pihak lain,
kecuali
dalam rangka pelaksanaan
fungsi, tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa
Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang.
BAB
XIV
ASOSIASI
USAHA PERASURANSIAN
Pasal
68
(1) Setiap Perusahaan Perasuransian wajib menjadi anggota
salah satu
asosiasi Usaha Perasuransian yang sesuai dengan
jenis usahanya.
(2) Asosiasi Usaha Perasuransian
sebagaimana dimaksud
pada
ayat (1) harus mendapat persetujuan tertulis dan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal
69
(1) Otoritas Jasa Keuangan
dapat menugaskan atau
mendelegasikan
wewenang tertentu kepada
asosiasi
Usaha Perasuransian dalam rangka pengaturan
dan/atau pengawasan Usaha Perasuransian.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai
penugasan atau
pendelegasian wewenang
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB
XV
SANKSI
ADMINISTRATIF
Pasal
70
Otoritas Jasa Keuangan
berwenang mengenakan sanksi
administratif kepada Setiap Orang yang melakukan
pelanggaran
terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dan
peraturan pelaksanaannya.
Pasal
71
(1) Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3),
Pasal 3 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 4 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 7 ayat (1), Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 11
ayat (1), Pasal 12 ayat (1), Pasal 13 ayat (1), Pasal 14 ayat
(1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 15, Pasal 16 ayat (1), Pasal
17 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 18 ayat (2) dan ayat (3), Pasal 19 ayat (1), ayat
(2), dan ayat
(3),
Pasal 20 ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan. ayat (4), Pasal
21 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), Pasal 22 ayat (1), ayat
(3), ayat (4), dan ayat (5), Pasal 26 ayat (1), Pasal 27
ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 28 ayat (2), ayat (4), ayat (6),
ayat
(7), dan ayat (8), Pasal 29 ayat (3), ayat (5), dan ayat
(6), Pasal 30 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 31 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4), Pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 35
ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 36, Pasal 39 ayat (5), Pasal 40
ayat
(1) dan ayat (3), Pasal 41 ayat (1), Pasal 42 ayat
(1) dan ayat (2), Pasal 46 ayat (2) dan ayat
(3), Pasal 53 ayat (1), Pasal 54 ayat (1), Pasal
55 ayat (2), Pasal 68 ayat (1), dan Pasal 86 dikenai sanksi
administratif.
(2) Sanksi
administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(1)
berupa:
a. peringatan
tertulis;
b. pembatasan
kegiatan usaha, untuk
sebagian atau
seluruh
kegiatan usaha;
c. larangan untuk memasarkan produk asuransi
atau
produk
asuransi syariah untuk lini usaha tertentu;
d. pencabutan izin
usaha;
e. pembatalan
pernyataan pendaftaran bagi
Pialang
Asuransi,
Pialang Reasuransi, dan Agen Asuransi;
1. pembatalan pernyataan
pendaftaran bagi konsultan
aktuaria, akuntan
publik, penilai, atau
pihak lain
yang memberikan jasa bagi Perusahaan
Perasuransian;
g. pembatalan persetujuan bagi lembaga mediasi
atau
asosiasi;
h. denda
administratif; dan/atau
i. larangan
menjadi pemegang saham,
Pengendali,
direksi, dewan komisaris, atau yang setara dengan pemegang
saham, Pengendali, direksi,
dan dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau
usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c,
dewan pengawas syariah, atau menduduki jabatan
eksekutif di bawah direksi, atau yang setara dengan
jabatan eksekutif di bawah direksi pada badan hukum
berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, pada
Perusahaan Perasuransian.
(3) Dalam hal
Otoritas Jasa Keuangan
menilai kondisi
Perusahaan Perasuransian membahayakan kepentingan Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta, Otoritas Jasa Keuangan dapat
mengenakan sanksi pencabutan
izin usaha tanpa didahului pengenaan
sanksi administratif yang lain.
(4) Ketentuan
lebih lanjut mengenai prosedur dan testa cara
pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3), serta besaran denda
sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) huruf h diatur dalam Peraturan Otoritas
Jasa Keuangan.
Pasal
72
(1) Dalam
hal Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah
dikenai sanksi peringatan
tertulis
atau pembatasan kegiatan usaha, Otoritas Jasa
Keuangan dapat memerintahkan:
a. penambahan
modal;
b. penggantian
direksi, dewan komisaris,
atau yang
setara dengan
direksi dan dewan
komisaris pada
badan hukum
berbentuk koperasi atau
usaha
bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat
(1) huruf c,
dewan pengawas syariah,
aktuaris perusahaan, atau auditor
internal;
c. direksi, dewan komisaris, atau yang setara
dengan
direksi dan
dewan komisaris pada
badan hukum
berbentuk
koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud
dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c, dan/atau
dewan
pengawas syariah menyerahkan pengendalian
dan pengelolaan
kegiatan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah kepada
Pengelola Statuter;
d. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah
mengalihkan sebagian atau seluruh portofolio
pertanggungan kepada Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah lain; dan/atau
e. Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah melakukan
tindakan yang dinilai
dapat
mengatasi
kesulitan atau tidak melakukan tindakan
yang
dinilai dapat memperburuk kondisi perusahaan.
(2) Dalam hal tindakan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak dapat mengatasi kesulitan yang dihadapi
Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau perusahaan
reasuransi syariah, Otoritas Jasa Keuangan dapat mencabut izin usaha
Perusahaan Asuransi, Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi
syariah.
(3) Otoritas Jasa Keuangan dapat meminta instansi yang
berwenang untuk
memblokir sebagian atau
seluruh kekayaan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan
reasuransi syariah yang sedang dikenai sanksi
pembatasan
kegiatan usaha karena
tidak memenuhi
ketentuan tingkat solvabilitas atau dicabut izin
usahanya.
(4) Pencabutan blokir
terhadap sebagian atau
seluruh
kekayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
dilakukan setelah memperoleh
persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai prosedur dan tata cara
pemblokiran
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan pencabutan blokir
sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan.
BAB
XVI
KETENTUAN
PIDANA
Pasal
73
(1) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan usaha asuransi,
usaha asuransi syariah, Usaha Reasuransi, atau Usaha Reasuransi
Syariah tanpa izin
usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara
paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar
rupiah).
(2) Setiap
Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Pialang
Asuransi atau
Usaha Pialang Reasuransi
tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1)
dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling banyak
Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
(3) Setiap Orang yang menjalankan kegiatan Usaha Penilai
Kerugian Asuransi
tanpa izin usaha
sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Pasal 74
(1) Anggota direksi,
anggota dewan komisaris,
atau yang
setara dengan anggota
direksi dan anggota
dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c,
anggota dewan pengawas
syariah, aktuaris perusahaan,
auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari
Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan
laporan, informasi, data, dan/atau dokumen kepada Otoritas
Jasa Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (1)
yang tidak benar,
palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah).
(2) Anggota direksi,
anggota dewan komisaris, atau
yang
setara dengan anggota
direksi dan anggota
dewan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi atau usaha bersama sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
huruf c, anggota dewan
pengawas syariah, aktuaris perusahaan, auditor internal, Pengendali, atau pegawai lain dari Perusahaan Perasuransian yang dengan sengaja memberikan informasi, data, dan/atau dokumen
kepada pihak yang berkepentingan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22 ayat (4) dan Pasal 46 ayat (2) yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling
banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal 75
Setiap Orang yang
dengan sengaja tidak
memberikan informasi atau memberikan
informasi yang tidak benar, palsu, dan/atau menyesatkan
kepada Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 31 ayat (2) dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal
76
Setiap Orang yang
menggelapkan Premi atau
Kontribusi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (5) dan Pasal 29 ayat (4) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5
(lima) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal
77
Setiap Orang yang menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, mengagunkan, atau menggunakan kekayaan, atau melakukan tindakan lain yang dapat mengurangi aset
atau menurunkan nilai aset Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) tanpa hak dipidana dengan pidana penjara
paling lama 8 (delapan)
tahun dan pidana
denda paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah).
Pasal 78
Setiap Orang yang
melakukan pemalsuan atas
dokumen
Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah,
perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 33 dipidana dengan pidana penjara paling lama
6 (enam) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
Pasal 79
Anggota direksi dan/atau pihak yang menandatangani
polis baru dari
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah yang sedang dalam
pengenaan sanksi pembatasan kegiatan usaha
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 34 dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda
paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar
rupiah).
Pasal 80
Setiap Orang, yang ditunjuk atau
ditugasi oleh Otoritas Jasa
Keuangan, yang menggunakan atau mengungkapkan
informasi apapun yang bersifat rahasia kepada pihak
lain, kecuali dalam
rangka pelaksanaan fungsi,
tugas, dan
wewenangnya berdasarkan keputusan Otoritas Jasa
Keuangan atau diwajibkan oleh undang-undang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67, dipidana
dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling banyak Rp20.000.000.000,00 (dua puluh miliar rupiah).
Pasal 81
(1) Dalam hal
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 73, Pasal 75, Pasal 76,
Pasal 77,
Pasal 78,
atau
Pasal 80 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi, Pengendali, dan/atau pengurus
yang bertindak untuk dan atas nama
korporasi.
(2) Pidana dijatuhkan
terhadap korporasi apabila
tindak
pidana:
a. dilakukan
atau diperintahkan
oleh Pengendali
dan/atau pengurus yang bertindak untuk dan atas nama korporasi;
b. dilakukan
dalam rangka pemenuhan
maksud dan
tujuan korporasi;
c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku
atau pemberi perintah; dan
d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat
bagi
korporasi.
Pasal 82
Pidana yang dijatuhkan terhadap korporasi adalah pidana denda
paling banyak Rp600.000.000.000,00 (enam ratus miliar rupiah).
BAB XVII
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 83
(1) Perusahaan
Perasuransian yang telah mendapatkan izin
usaha pada saat diundangkannya
Undang-Undang ini, dinyatakan telah
mendapat izin usaha
berdasarkan Undang-Undang ini.
(2) Perusahaan agen asuransi yang telah
mendapatkan izin
usaha
pada saat diundangkannya Undang-Undang ini
tetap dapat
menjalankan usahanya.
(3) Izin
atau persetujuan yang
telah diberikan kepada
Perusahaan Perasuransian berkenaan dengan
kelembagaan dan penyelenggaraan Usaha Perasuransian
pada saat diundangkannya Undang-Undang ini,
dinyatakan tetap
berlaku berdasarkan Undang-Undang
ini.
Pasal 84
(1) Perusahaan konsultan aktuaria yang telah mendapat
izin
usaha pada saat diundangkannya
Undang-Undang ini tetap dapat
menjalankan kegiatan usahanya.
(2) Dengan
diundangkannya Undang-Undang ini, perizinan
usaha, pembinaan, dan pengawasan perusahaan
konsultan aktuaria dilakukan oleh Menteri.
Pasal 85
(1) Pada
saat diundangkannya Undang-Undang ini, setiap
Pihak yang menjadi pemegang
saham pengendali pada
lebih
dari 1 (satu) perusahaan asuransi jiwa, 1 (satu)
perusahaan asuransi umum, 1 (satu) perusahaan
reasuransi, 1 (satu)
perusahaan asuransi jiwa syariah, 1
(satu)
perusahaan asuransi umum syariah, dan 1 (satu)
perusahaan reasuransi syariah
wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Pasal 16 ayat (1) paling lama
3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai tata cara penyesuaian
pemegang saham
pengendali sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
sanksi bagi Pihak
yang tidak melakukan penyesuaian
pemegang saham pengendali diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 86
Usaha bersama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c wajib
menyesuaikan dengan ketentuan
dalam Undang-Undang ini
dan peraturan pelaksanaannya paling lama 3 (tiga) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang ini.
Pasal 87
(1) Dalam hal
Perusahaan Asuransi atau
perusahaan
reasuransi memiliki
unit syariah dengan
nilai Dana Tabarru' dan dana
investasi peserta telah
mencapai paling sedikit 50% (lima puluh persen) dari
total nilai Dana Asuransi,
Dana Tabarru', dan dana
investasi peserta
pada perusahaan induknya atau 10 (sepuluh) tahun sejak
diundangkannya Undang-Undang ini, Perusahaan Asuransi
atau perusahaan reasuransi tersebut wajib melakukan
pemisahan unit syariah tersebut menjadi Perusahaan
Asuransi Syariah atau
perusahaan
reasuransi syariah.
(2) Ketentuan
lebih lanjut mengenai pemisahan unit syariah
dan sanksi bagi Perusahaan Asuransi dan perusahaan reasuransi yang tidak melakukan pemisahan unit
syariah
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
88
(1) Perusahaan Perasuransian yang
belum memenuhi
ketentuan dalam
Pasal 7 ayat (1) huruf
a wajib
menyesuaikan
dengan ketentuan tersebut
dengan mengalihkan kepemilikan
sahamnya kepada warga
negara Indonesia atau melakukan perubahan
kepemilikan melalui mekanisme penawaran umum (initial public offering) paling lama 5 (lima)
tahun sejak diundangkannya Undang-Undang ini.
(2) Ketentuan lebih lanjut
mengenai tata cara penyesuaian
kepemilikan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan sanksi bagi
Perusahaan Perasuransian yang
tidak melakukan penyesuaian kepemilikan
diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan.
BAB XVIII
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 89
Ketentuan di
dalam peraturan perundang-undangan yang mewajibkan
penutupan asuransi atau asuransi syariah oleh seluruh
atau kelompok tertentu
dalam masyarakat wajib disesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-Undang
ini.
Pasal 90
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku:
a.
Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1992
tentang Usaha
Perasuransian (Lembaran Negara
Republik Indonesia
Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3467) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku;
b. ketentuan mengenai permohonan pernyataan
pailit oleh
Menteri Keuangan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(5) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
131,
Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4443) dinyatakan tidak
berlaku bagi Perusahaan Asuransi dan
perusahaan reasuransi; dan
c. semua peraturan perundang-undangan yang
merupakan
peraturan
pelaksanaan dari Undang-Undang
Nomor 2
Tahun 1992 tentang
Usaha Perasuransian (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 1992 Nomor 13,
Tambahan Lembaran. Negara Republik Indonesia Nomor 3467), dinyatakan masih tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
ketentuan dalam Undang-Undang ini.
Pasal 91
Peraturan pelaksanaan
dan Undang-Undang ini
harus ditetapkan paling
lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Pasal 92
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Disahkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2014
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO
Diundangkan di Jakarta
Pada tanggal 17 Oktober 2014
MENTER11-1UKUM DAN
HAK ASASI MANUSIA,
REPUBLIK INDONESIA,
ttd.
AMIR SYAMSUDIN
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2014 NOMOR
337
Salinan sesuai dengan aalinya
KEMENTERIAN SEKRETARIAT NEGARA
REPUBLIK INDONESIA
Asisten Deputi
Perundang-undangan
Perekonomian,
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR
40 TAHUN 2014
TENTANG
PERASURANSIAN
I. UMUM
Pembangunan nasional memerlukan dan mengharuskan
dilakukannya penyesuaian dalam berbagai
hal terhadap perkembangan kondisi dan aspirasi masyarakat. Dalam
industri perasuransian, balk secara nasional maupun global, terjadi perkembangan yang pesat yang ditandai
dengan meningkatnya volume usaha dan
bertambahnya pemanfaatan layanan jasa perasuransian oleh masyarakat. Layanan jasa perasuransian pun semakin
bervariasi sejalan dengan perkembangan
kebutuhan masyarakat akan pengelolaan risiko dan pengelolaan
investasi yang semakin tidak terpisahkan, baik dalam kehidupan pribadi maupun dalam kegiatan usaha.
Selain perkembangan di dalam industri perasuransian,
terjadi pula perkembangan di industri
jasa keuangan yang lain. Perkembangan di berbagai industri jasa keuangan ini mengakibatkan semakin
menipisnya batasan dan perbedaan jenis
layanan yang diberikan
oleh industri jasa
keuangan.
Perkembangan demikian menuntut
adanya sistem pengaturan dan
pengawasan sektor keuangan yang lebih baik dan terpadu.
Ketentuan yang
ada dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1992
tentang Usaha Perasuransian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13; Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3467) tidak lagi cukup untuk menjadi dasar
pengaturan dan pengawasan industri perasuransian yang telah
berkembang. Penyempurnaan terhadap peraturan perundang-undangan mengenai
perasuransian harus dilakukan
untuk menciptakan industri perasuransian
yang lebih sehat, dapat
diandalkan, amanah, dan kompetitif
serta meningkatkan perannya
dalam mendorong pembangunan nasional.
Upaya untuk menciptakan industri perasuransian yang lebih
sehat, dapat diandalkan, amanah,
dan kompetitif secara umum
dilakukan, baik dengan penetapan ketentuan baru maupun dengan
penyempurnaan ketentuan
yang telah
ada. Upaya tersebut diwujudkan antara lain dalam bentuk:
1. penetapan landasan hukum
bagi penyelenggaraan Usaha Asuransi Syariah
dan Usaha Reasuransi Syariah;
2. penetapan
status badan hukum bagi
Perusahaan Asuransi berbentuk
usaha bersama yang telah ada pada saat Undang-Undang ini diundangkan;
3. penyempurnaan pengaturan mengenai kepemilikan perusahaan
perasuransian yang mendukung kepentingan nasional;
4. pemberian amanat
lebih besar kepada
Perusahaan Asuransi dan
Perusahaan Asuransi Syariah
untuk mengelola kerja sama dengan pihak lain dalam rangka pemasaran layanan
jasa asuransi dan asuransi syariah, termasuk kerja sama
keagenan; dan
5. penyempurnaan
ketentuan mengenai kewajiban untuk menjaga tata kelola
perusahaan yang balk, kesehatan keuangan, dan perilaku usaha yang sehat.
Peningkatan peran
industri perasuransian dalam
mendorong
pembangunan nasional
terjadi apabila industri perasuransian dapat lebih mendukung masyarakat dalam
menghadapi risiko yang dihadapinya seharihari dan pada saat mereka memulai dan
menjalankan kegiatan usaha. Untuk itu, Undang-Undang
ini mengatur bahwa Objek Asuransi di Indonesia hanya dapat diasuransikan pada
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Asuransi Syariah
di Indonesia dan
penutupan Objek Asuransi
tersebut harus memperhatikan optimalisasi
kapasitas Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi syariah dalam negeri. Guna mengimbangi kebijakan ini,
Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa
Keuangan melakukan upaya untuk mendorong peningkatan kapasitas asuransi dan reasuransi dalam negeri. Undang-Undang
ini juga mengharuskan penyelenggaraan Program Asuransi Wajib, misalnya asuransi
tanggung jawab hukum
kepada pihak ketiga bagi pengendara kendaraan bermotor, secara kompetitif dan memungkinkan pemberian fasilitas fiskal
kepada perseorangan, rumah tangga, dan/
atau usaha mikro, kecil, dan menengah untuk mendorong peningkatan
pemanfaatan Asuransi atau
Asuransi Syariah dalam
rangka pengelolaan risiko.
Peningkatan peran industri
perasuransian dalam
mendorong
pembangunan nasional juga terjadi melalui pemupukan
dana jangka panjang dalam jumlah besar, yang
selanjutnya menjadi sumber dana pembangunan. Pengaturan lebih lanjut yang diamanatkan
Undang-Undang ini kepada Otoritas Jasa Keuangan,
terutama dalam hal pengaturan
lini usaha dan produk Asuransi
dan Asuransi Syariah serta pengaturan pengelolaan kekayaan dan kewajiban Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi,
dan perusahaan reasuransi syariah, akan menentukan besar atau
kecilnya
peran industri perasuransian tersebut.
Pengaturan dalam Undang-Undang
ini juga mencerminkan perhatian dan
dukungan besar bagi upaya pelindungan konsumen jasa perasuransian, upaya antisipasi lingkungan perdagangan jasa yang
lebih terbuka pada tingkat regional, dan
penyesuaian terhadap praktik terbaik (best practices) di tingkat internasional untuk penyelenggaraan,
pengaturan, dan pengawasan industri perasuransian.
PASAL DEMI PASAL
Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal
2
Ayat (1)
Berdasarkan mekanisme
pengelolaan risikonya, lini usaha asuransi kesehatan
dan lini usaha
asuransi kecelakaan din
lebih tepat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Umum. Namun,
mengingat Objek Asuransi
yang dipertanggungkan dalam kedua lini usaha dimaksud menyangkut din manusia,
lini usaha asuransi kesehatan dan
lini usaha asuransi kecelakaan din
juga dapat digolongkan sebagai Usaha Asuransi Jiwa. Dalam
praktiknya, kedua lini usaha asuransi tersebut telah diselenggarakan, baik oleh
perusahaan asuransi umum maupun oleh perusahaan
asuransi jiwa.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 3
Usaha asuransi syariah dan
Usaha Reasuransi Syariah berbeda dari usaha asuransi konvensional dan usaha
reasuransi konvensional. Usaha asuransi dan
Usaha Reasuransi yang
dikelola secara konvensional menerapkan konsep transfer risiko, sedangkan usaha
asuransi syariah dan
Usaha Reasuransi Syariah merupakan penerapan konsep berbagi risiko (risk sharing).
Mengingat
perbedaan konsepsi yang
mendasari penyelenggaraan usahanya,
usaha asuransi syariah
dan Usaha Reasuransi Syariah yang saat ini
diperkenankan dalam bentuk unit di dalam perusahaan
asuransi dan perusahaan
reasuransi konvensional akan didorong untuk
diselenggarakan oleh entitas yang terpisah.
Pasal 4
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Pihak yang bermaksud
menyelenggarakan Usaha Asuransi Umum, Usaha Asuransi Jiwa, Usaha Asuransi Umum
Syariah, atau Usaha
Asuransi Jiwa Syariah dengan bentuk badan hukum usaha
bersama setelah Undang-Undang ini
diundangkan,
didorong untuk menjadi berbentuk koperasi dengan
pertimbangan
kejelasan tata kelola dan prinsip usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah antara lain tata kelola, persyaratan dan
tata cara perubahan
menjadi badan hukum perseroan
terbatas atau koperasi, serta persyaratan dan tata cara pembubaran badan hukum usaha bersama.
Pasal 7
Ayat (1)
Dalam kehidupan perekonomian yang
semakin terbuka dan berkembang cepat,
dibutuhkan layanan jasa
pertanggungan atau pengelolaan
risiko yang semakin
beragam dan berkualitas
oleh Perusahaan Perasuransian yang
sehat, dapat diandalkan, amanah, dan kompetitif. Untuk
itu, Perusahaan Perasuransian
perlu dibangun dengan permodalan yang kuat, yang bersumber, balk
dart dalam negeri maupun dan luar
negeri.
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Kepemilikan pihak asing pada Perusahaan Perasuransian
dibatasi secara kualitatif. Pembatasan secara
kualitatif dilakukan dengan mempersyaratkan bahwa
pada scat pendirian
Perusahaan Perasuransian, pihak
asing yang dapat menjadi pemilik adalah badan hukum asing yang memiliki Usaha Perasuransian yang
sejenis atau perusahaan induk yang salah satu anak
perusahaannya
bergerak di bidang Usaha
Perasuransian yang sejenis. Persyaratan
badan hukum asing harus mempunyai Usaha Perasuransian yang
sejenis dimaksudkan agar mitra asing yang akan menjadi salah satu
pemilik Perusahaan Perasuransian di Indonesia tersebut
merupakan Perusahaan Perasuransian yang benar-benar mempunyai pengalaman usaha di bidangnya
sehingga diharapkan terjadi transfer modal dan
transfer pengetahuan dan teknologi kepada pihak Indonesia.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Ayat
(3)
Ketentuan yang diatur
dalam peraturan pemerintah
antara lain mengenai
pembatasan kepemilikan badan
hukum asing secara kuantitatif. Pembatasan
tersebut dapat berupa persentase maksimum kepemilikan asing pada
Perusahaan Perasuransian.
Pembatasan
secara kuantitatif membutuhkan
fleksibilitas guna menyesuaikan dengan dinamika kebutuhan dan ketersediaan
dana dalam negeri.
Batas kepemilikan badan hukum asing dalam Perusahaan
Perasuransian dikonsultasikan dengan
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan
Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal
8
Ayat
(1)
Cukup jelas. Ayat
(2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
persyaratan dan tats cara perizinan usaha
antara lain berupa persyaratan kompetensi atau keahlian di bidang Usaha Perasuransian
sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Otoritas Jasa
Keuangan termasuk bagi pengurus dan tenaga ahli asing.
Pasal 9
Ayat (1)
Waktu 30 (tiga puluh)
hari kerja mencakup
waktu untuk
mengklarifikasi data atau informasi dalam dokumen yang
dipersyaratkan untuk mendapatkan izin usaha. Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
Pemenuhan persyaratan
kemampuan dan kepatutan
bagi anggota dewan pengawas
syariah mencakup integritas dan kompetensi terkait tugas dan fungsi
dewan pengawas syariah serta pengalaman dan keahlian di bidang usaha perasuransian syariah.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Ayat (1)
Penetapan Pengendali diperlukan agar Otoritas Jasa
Keuangan dapat
menentukan.
Pihak yang dimintai pertanggungjawaban, selain direksi dan komisaris, apabila
terjadi kegagalan perusahaan untuk memenuhi kewajiban
kepada Pemegang Pais, Tertanggung, atau Peserta akibat
pengaruh Pihak tersebut dalam pengelolaan
perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 14
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Persetujuan ini diperlukan antara lain agar Pihak
yang tidak lagi menjadi
Pengendali dipastikan tidak lagi memiliki kewajiban untuk ikut bertanggung
jawab atas kerugian
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, atau
perusahaan reasuransi
syariah yang disebabkan oleh
Pihak yang sebelumnya berada
dalam pengendaliannya.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Pengecualian dalam ketentuan ini
dimaksudkan agar negara dapat memiliki dan/atau
mengendalikan lebih dari satu perusahaan dengan usaha sejenis dalam rangka menyediakan jasa asuransi bagi kelompok masyarakat tertentu atau daerah
tertentu, menjadi perintis kegiatan usaha
asuransi yang belum dapat dilaksanakan oleh pihak swasta, atau menyelenggarakan
kemanfaatan umum lain yang strategis bagi masyarakat.
Ayat (3)
Hal yang akan diatur lebih lanjut dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan antara
lain besar kepemilikan
saham dan tata
cara konsolidasi perusahaan.
Pasal 17
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Hal yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan antara lain mengenai
jenis, jumlah, persyaratan, tugas,
tanggung jawab, dan wewenang tenaga ahli dan aktuaris.
Pasal 18
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
"standar seleksi" adalah persyaratan minimum bagi Pihak yang akan dijadikan
tiara kerja sama oleh Perusahaan Perasuransian.
Yang dimaksud dengan
"akuntabilitas"
adalah adanya keyakinan Perusahaan Perasuransian atas kemampuan dan
pengalaman dari perusahaan yang
diajak bekerja Rama
dan adanya kejelasan
pertanggungjawaban
oleh Perusahaan Perasuransian atas kegiatan
atau fungsi yang dilaksanakan oleh pihak lain tersebut.
Ayat (4)
Ketentuan
yang diatur dalam
Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan antara lain mengenai
jenis, nilai, dan jangka waktu pengalihan fungsi yang
dapat dilakukan oleh
Perusahaan Perasuransian, termasuk perusahaan penilai kerugian asuransi, kepada pihak
lain terutama pihak asing.
Pasal 19
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Ketentuan ini dirnaksudkan agar
Dana Asuransi atau Dana Tabarru' dapat
dikelola dengan baik, mengingat Dana
Asuransi atau Dana
Tabarru'
dimaksud merupakan dana
yang akan digunakan
perusahaan
untuk memenuhi kewajiban
kepada Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta. Kewajiban melakukan evaluasi atas Dana Asuransi atau Dana Tabarru'
uga dilakukan di negara lain.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Dana Jaminan dibentuk untuk memberikan jaminan atas penggantian sebagian
atau seluruh hak Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta dalam hal perusahaan harus dilikuidasi. Dengan demikian, Dana Jaminan
merupakan bagian dari upaya melindungi Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (2)
Pada umumnya, perkembangan usaha
mengakibatkan bertambahnya kewajiban perusahaan
kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta. Hal ini juga berarti bertambah pula besar
hak Pemegang Polls, Tertanggung,
atau Peserta yang perlu dijamin pengembaliannya jika perusahaan dilikuidasi.
Ayat (3)
Ketentuan ini dimaksudkan agar penggunaan Dana
Jaminan untuk mengembalikan sebagian
atau seluruh hak
Pemegang Polis, Tertanggung, atau
Peserta pada saat perusahaan dilikuidasi dapat dipastikan.
Ayat (4)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk
mencegah penyalahgunaan Dana Jaminan.
Ayat (5)
Ketentuan lebih lanjut mengenai
Dana Jaminan meliputi pengaturan jenis aset yang
dapat digunakan sebagai Dana Jaminan, jumlah Dana Jaminan minimum yang
harus dimiliki perusahaan,
penyesuaian besar Dana
Jaminan berdasarkan volume
usaha, tata cara pemindahan atau
pencairan Dana Jaminan, dan penatausahaannya.
Pasal 21
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Pemisahan kekayaan
dan kewajiban dilaksanakan
dengan tetap
memperhatikan keseimbangan antara
pengembangan usaha dan
pelindungan konsumen.
Pasal 22
Ayat (1)
Laporan yang wajib disampaikan
Perusahaan Perasuransian kepada Otoritas Jasa
Keuangan antara lain
laporan keuangan, laporan kegiatan
usaha, dan laporan program dukungan reasuransi otomatis. Selain itu, dalam keadaan atau
untuk tujuan tertentu, Perusahaan Perasuransian
juga dapat diwajibkan menyampaikan laporan yang bersifat tematik misalnya profit risiko dan
pelaksanaan tata kelola perusahaan.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Posisi keuangan, kinerja keuangan, dan kondisi
kesehatan keuangan yang
diumumkan paling sedikit meliputi rasio kesehatan keuangan sesuai dengan ketentuan mengenai
kesehatan keuangan Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan reasuransi, dan
perusahaan reasuransi syariah. Pengumuman melalui media
elektronik dilakukan pada situs perusahaan dan situs
Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Ketentuan yang diatur dalam Peraturan
Otoritas Jasa Keuangan antara
lain mengenai jenis, bentuk,
dan susunan laporan
atau pengumuman,
serta jadwal dan batas waktu penyampaian laporan dan pengumuman.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Ayat (1)
Ketentuan mengenai standar
perilaku usaha bagi
Perusahaan Asuransi
Syariah dan perusahaan reasuransi syariah mengacu pula pada Prinsip Syariah.
Ayat (2)
Pengaturan
mengenai standar perilaku
usaha dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan disesuaikan
dengan jenis usaha Perusahaan Perasuransian
masing-masing.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas. Ayat (7)
Imbalan jasa
keperantaraan dapat dibayarkan
langsung oleh Pemegang Polis atau menjadi bagian dari Premi. Dalam
hal imbalan jasa
keperantaraan merupakan bagian dari Premi, dalam polls atau dokumen yang
merupakan kesatuan dengannya dimuat perincian mengenai bagian premi yang diteruskan kepada
Perusahaan Asuransi dan imbalan jasa
keperantaraan yang dibayarkan kepada Perusahaan Pialang Asuransi.
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang
dimaksud dengan "cepat" adalah bahwa proses penanganan klaim dan keluhan dilakukan dengan segera, dalam
waktu sesingkatsingkatnya, dan
secara cekatan.
Yang dimaksud dengan "sederhana" adalah bahwa proses penanganan
klaim dan keluhan bersifat lugas dan tidak
remit.
Yang
dimaksud dengan "mudah
diakses" adalah bahwa
proses penanganan klaim dan
keluhan diselenggarakan di kantor perusahaan atau
tempat lain yang
mudah dikunjungi, atau
diselenggarakan dengan memanfaatkan
teknologi yang memudahkan orang
untuk menyampaikan klaim
atau keluhan dan mendapatkan tanggapan.
Yang dimaksud dengan "adil" adalah bahwa proses penanganan
klaim dan keluhan
dilakukan dengan berpegang kepada kebenaran, tidak memihak, dan tidak sewenang-wenang.
Ayat (4)
Tindakan yang dapat memperlambat penyelesaian atau
pembayaran klaim antara lain:
a.
memperpanjang proses penyelesaian klaim
dengan meminta
penyerahan dokumen
tertentu, yang kemudian
diikuti dengan
meminta penyerahan
dokumen lain yang pada dasarnya berisi hal
yang sama;
b.
menunda penyelesaian dan pembayaran klaim karena menunggu
penyelesaian
dan/atau pembayaran klaim reasuransinya;
c. tidak melakukan
penyelesaian klaim yang merupakan bagian dari
penutupan
asuransi karena alasan adanya keterkaitan dengan
penyelesaian
klaim yang merupakan bagian lain dari penutupan
asuransi dalam 1
(satu) polls yang sama;
d. memperlambat
penunjukan perusahaan penilai kerugian asuransi,
apabila
jasa penilai kerugian asuransi dibutuhkan dalam proses
penyelesaian klaim;
dan
e.
menerapkan prosedur penyelesaian
klaim yang tidak
sesuai
dengan praktik usaha
asuransi yang berlaku umum.
Ayat
(5)
Cukup jelas.
Pasal 32
Cukup
jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Ayat
(1)
Ketentuan ini didasarkan pada pertimbangan bahwa koperasi
atau usaha bersama memiliki keterbatasan
kemampuan untuk menambah modal. Namun, di sisi
lain koperasi atau usaha bersama tetap harus memastikan kemampuannya
untuk memenuhi kewajiban
kepada Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Ayat
(2)
Ketentuan ini dimaksudkan untuk menegaskan konsep
pertanggungan
bersama dan berbagi
risiko antaranggota, dan menghindari adanya
anggota yang hanya menjadi pemodal bagi usaha asuransi
yang dijalankan oleh Perusahaan Asuransi dan Perusahaan
Asuransi Syariah berbentuk koperasi atau usaha bersama
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c. Ayat (3)
Ketentuan ini juga
dimaksudkan untuk menegaskan
konsep pertanggungan bersama
dan berbagi risiko
antaranggota, dan menghindari adanya anggota yang hanya menjadi pemodal.
Ayat
(4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Yang
dimaksud dengan "persyaratan keuangan" antara lain besaran simpanan pokok dan simpanan wajib yang harus disetor oleh
anggota.
Pasal 36
Ketentuan ini dimaksudkan
untuk mendorong Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi, dan perusahaan reasuransi
syariah agar benar-benar
menjalankan fungsinya sebagai penanggung dan/atau
penanggung ulang.
Optimalisasi pemanfaatan
kapasitas reasuransi dalam negeri dilakukan
dengan menempatkan sebanyak-banyaknya pertanggungan ulang
asuransi pada Perusahaan
Asuransi dan/atau perusahaan reasuransi di dalam negeri, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dengan tetap memperhatikan prinsip manajemen risiko, terutama penyebaran risiko.
Pasal 37
Pemerintah dan/atau Otoritas Jasa Keuangan, baik
secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama,
dapat melakukan langkah-langkah, seperti:
a. membentuk perusahaan reasuransi baru;
b. menggabungkan beberapa badan usaha milik negara
yang bergerak di
bidang perasuransian dan menugaskan perusahaan hasil
penggabungan tersebut menjadi perusahaan reasuransi;
c. memberikan fasilitas
untuk pembentukan pool atau
konsorsium
asuransi untuk
risiko tertentu, misalnya risiko bencana alam; atau
d. menghindari pengenaan pajak berganda terhadap industri
perasuransian.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Otoritas Jasa Keuangan harus
menetapkan persyaratan bagi pihak yang akan
menyelenggarakan Program Asuransi Wajib, misalnya besar modal dan ketersediaan infrastruktur usaha.
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan "manfaat tambahan"
adalah besaran manfaat yang diberikan dan
bukan tambahan jenis manfaat.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Perubahan kepemilikan mencakup
antara lain perubahan komposisi saham,
pengambilalihan, dan penambahan pemegang saham baru.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Hal yang akan
diatur lebih lanjut dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan antara lain adanya transfer portofolio
pertanggungan atau pengembalian hak
Pemegang Polls atau
Tertanggung sebelum
Perusahaan Asuransi atau Perusahaan Reasuransi tersebut
menghentikan kegiatan usahanya.
Pasal 43
Cukup jelas.
Pasal 44
Ayat (1)
Likuidasi perusahaan yang telah
dicabut izin usahanya perlu segera
dilakukan untuk melindungi kepentingan Pemegang Polis,
Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 45
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Hal yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa
Keuangan antara lain:
a. mekanisme
pembubaran badan. hukum Perusahaan Asuransi,
Perusahaan
Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau
perusahaan reasuransi syariah;
b. jumlah
anggota tim likuidasi;
c.
penghasilan tim likuidasi;
d. tata cara
pelaksanaan likuidasi;
e. jangka
waktu likuidasi;
f.
pengawasan pelaksanaan likuidasi oleh Otoritas Jasa Keuangan;
g. tata cara pengalihan aset dan
kewajiban
Perusahaan Asuransi,
Perusahaan Asuransi
Syariah, perusahaan reasuransi,
atau
perusahaan reasuransi syariah;
dan
h. pertanggungjawaban tim likuidasi.
Pasal 46
Cukup jelas.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Ayat (1)
Tagihan diajukan
melalui Otoritas Jasa
Keuangan dimaksudkan untuk memudahkan proses
penagihan, tetapi Otoritas Jasa Keuangan tidak melakukan verifikasi
terhadap tagihan tersebut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Ayat (1)
Sejalan dengan ruang lingkup
togas Otoritas Jasa Keuangan yang berfungsi
menyelenggarakan sistem pengaturan dan pengawasan yang terintegrasi terhadap
keseluruhan kegiatan di
dalam sektor jasa keuangan, maka kewenangan
pengajuan pailit terhadap Perusahaan Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, dan perusahaan
reasuransi syariah yang semula dilakukan oleh Menteri Keuangan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang
Kepailitan dan Penundaan
Kewajiban Pembayaran Utang beralih
menjadi kewenangan Otoritas Jasa Keuangan
berdasarkan Undang-Undang ini.
Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Ayat (1)
Program penjaminan polis dimaksudkan untuk menjamin
pengembalian sebagian atau seluruh hak Pemegang Polls,
Tertanggung, atau Peserta dan Perusahaan Asuransi
atau Perusahaan
Asuransi Syariah
yang dicabut izin usahanya dan dilikuidasi.
Selain itu,
keberadaan program penjaminan polls dimaksudkan untuk
meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap industri
perasuransian pada umumnya sehingga diharapkan dapat
meningkatkan minat masyarakat untuk menggunakan jasa
asuransi. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 54
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Yang
dimaksud dengan "independen" adalah tidak dipengaruhi oleh pihak lain.
Yang dimaksud dengan "imparsial" adalah tidak berpihak pada
salah satu pihak yang bersengketa.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 55
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Yang dimaksud dengan "penilai" adalah penilai aset. Huruf d
Cukup jelas.
Ayat (2)
Ketentuan ini didasarkan
pertimbangan bahwa Usaha Perasuransian memiliki
karakteristik yang khas sehingga profesi penyedia jasa. bagi Perusahaan Perasuransian harus memenuhi kualifikasi
tertentu.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 56
Cukup jelas.
Pasal 57
Ayat (1)
Pengaturan dan
pengawasan kegiatan Usaha
Perasuransian oleh Otoritas Jasa Keuangan antara lain aspek tata
kelola, perilaku usaha, dan kesehatan
keuangan.
Yang dimaksud dengan "pengawasan" antara
lain analisis laporan, pemeriksaan, dan
penyidikan.
Ayat (2)
Kebijakan umum dalam rangka pengembangan pemanfaatan
asuransi dan reasuransi untuk mendukung perekonomian nasional meliputi hal kepernilikan asing
atas Perusahaan Perasuransian, peningkatan kapasitas asuransi,
asuransi syariah, reasuransi,
dan reasuransi syariah
dalam negeri, serta
pemberian fasilitas fiskal
kepada perseorangan, rumah
tangga, dan/atau usaha
mikro, kecil, dan menengah.
Pasal 58
Cukup jelas.
Pasal 59
Cukup jelas.
Pasal 60
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas. Huruf b
Cukup jelas. Huruf c
Cukup jelas. Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf
g
Cukup jelas. Huruf h
Cukup jelas. Huruf
Cukup jelas. Huruf j
Cukup jelas. Huruf k
Cukup jelas. Huruf 1
Angka
1
Cukup jelas. Angka 2
Cukup jelas. Angka 3
Cukup
jelas. Angka 4
Cukup
jelas. Angka 5
Yang dimaksud dengan
produk asuransi tertentu yang dapat dihentikan pemasarannya adalah
produk yang dapat merugikan
Pemegang Polls, Tertanggung, atau
Peserta, produk yang bertentangan
dengan peraturan perundang-
undangan dan norma yang berlaku di masyarakat, dan/atau produk yang dapat membahayakan keuangan Perusahaan
Asuransi, Perusahaan Asuransi Syariah, perusahaan
reasuransi, atau perusahaan reasuransi syariah. Angka
6
Cukup jelas. Huruf m
Cukup jelas. Huruf n
Cukup jelas.
Pasal
61
Ayat
(1)
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
di kantor Perusahaan
Perasuransian dan/atau pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan. Pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian dapat
dilakukan terhadap seluruh aspek penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian dan/atau terhadap aspek
tertentu dari
penyelenggaraan kegiatan usaha
Perusahaan Perasuransian. Sedangkan pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa Keuangan
dilakukan hanya terhadap aspek tertentu dari
penyelenggaraan kegiatan usaha Perusahaan Perasuransian.
Pemeriksaan
di kantor Otoritas Jasa Keuangan dapat ditindaklanjuti dengan pemeriksaan di kantor Perusahaan Perasuransian
apabila:
a. data, dokumen, dan/atau keterangan dari Perusahaan
Perasuransian yang diperiksa tidak dapat memberikan dasar
yang cukup bagi pegawai Otoritas Jasa
Keuangan dan/atau pihak lain yang ditunjuk
oleh Otoritas Jasa
Keuangan yang melakukan pemeriksaan
di kantor Otoritas Jasa Keuangan untuk membuat kesimpulan atas
hasil pemeriksaan di
kantor Otoritas Jasa Keuangan; dan/atau
b. adanya
tanggapan Perusahaan Perasuransian
yang diperiksa
terhadap
kesimpulan hasil pemeriksaan di kantor Otoritas Jasa
Keuangan.
Ayat
(2)
Yang
dimaksud dengan "pihak lain" adalah badan, lembaga, institusi, atau orang, balk dari dalam maupun luar Otoritas Jasa
Keuangan. Pihak tersebut antara lain akuntan
publik, konsultan aktuaria, penilai kerugian, pejabat
penyidik pegawai negeri
sipil dan/atau pejabat penyidik Kepolisian Republik Indonesia.
Ayat
(3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas. Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal
62
Ayat
(1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Yang dimaksud dengan "kekayaan" antara
lain surat berharga, tanah, gedung, dan
kendaraan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas. Huruf e
Cukup jelas. Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Ketentuan ini didasarkan
bahwa direksi dan
komisaris nonaktif Perusahaan Perasuransian
dianggap pihak yang paling mengetahui keadaan
keuangan dan operasional Perusahaan Perasuransian yang
sedang diambil alih kepengurusannya oleh Pengelola
Statuter. Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 63
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Yang dimaksud
"perintah
tertulis" adalah perintah
secara tertulis untuk melaksanakan
atau tidak melaksanakan kegiatan tertentu guna memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan di
sektor jasa keuangan dan/atau mencegah dan mengurangi kerugian Pemegang Polls, Tertanggung, atau Peserta.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 64
Cukup jelas.
Pasal 65
Cukup jelas.
Pasal 66
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Ketentuan ini didasarkan
bahwa Pengendali mempunyai
peranan penting,
baik secara langsung maupun tidak langsung, yang dapat mempengaruhi pengelolaan
atau kebijakan suatu
Perusahaan Perasuransian.
Ayat (3)
Cukup jelas. Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas. Ayat (6)
Cukup jelas.
Pasal 67
Informasi yang dimiliki Otoritas Jasa Keuangan dapat
berupa informasi yang sifatnya rahasia, antara lain informasi yang terkait
dengan stabilitas perekonomian
nasional dan informasi yang berkaitan dengan kepentingan pelindungan Usaha Perasuransian
dari persaingan usaha tidak sehat. Informasi
rahasia tersebut dapat diakses oleh pegawai Otoritas Jasa Keuangan atau pihak yang
ditunjuk dan/atau diberi tugas oleh Otoritas Jasa Keuangan.
Pasal 68
Ayat (1)
Pengaturan ini
dimaksudkan untuk meningkatkan
peran asosiasi dalam
mengatur para anggotanya (self regulatory) dan melancarkan
koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 69
Ayat
(1)
Penugasan atau pendelegasian wewenang tertentu dari
Otoritas Jasa Keuangan kepada asosiasi
antara lain penyusunan standar etika usaha dan tata perilaku (code of conduct), pembentukan
profil risiko dan tabel
mortalita, serta pelaksanaan
dan penetapan sertifikasi keagenan.
Ayat
(2)
Cukup jelas.
Pasal 70
Cukup jelas.
Pasal
71
Ayat
(1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Contoh
kondisi yang membahayakan kepentingan Pemegang Polis, Tertanggung, atau Peserta antara lain kondisi keuangan
perusahaan memburuk secara
drastis, pemegang saham
tidak kooperatif, dan/atau
direksi dan komisaris, atau yang setara dengan direksi dan komisaris pada badan
hukum berbentuk koperasi
atau usaha bersama sebagaimana dirnaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf
c, tidak memiliki jalan keluar untuk mengatasi
permasalahan.
Ayat
(4)
Cukup jelas.
Pasal
72
Cukup jelas.
Pasal 73
Cukup jelas.
Pasal 74
Cukup jelas.
Pasal 75
Cukup jelas.
Pasal 76
Cukup jelas.
Pasal 77
Cukup jelas.
Pasal 78
Cukup jelas.
Pasal 79
Cukup jelas.
Pasal 80
Cukup jelas.
Pasal 81
Cukup jelas.
Pasal 82
Cukup jelas.
Pasal 83
Ayat (1)
Cukup jelas. Ayat (2)
Cukup jelas. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan
"izin" adalah izin di luar izin usaha. Contoh izin
atau persetujuan antara lain izin untuk memasarkan produk asuransi dan
persetujuan untuk bancassurance.
Pasal 84
Cukup jelas.
Pasal 85
Cukup jelas.
Pasal 86
Cukup jelas.
undangan mengenai dana
pertanggungan wajib kecelakaan penumpang dan dana kecelakaan lalu lintas jalan.
Pasal 90
Cukup jelas.
Pasal 91
Cukup jelas.
Pasal 92
Cukup jelas.