Tuesday, 20 June 2017

Manajemen Risiko bagi Warga Miskin


PERDEBATAN publik seputar pencabutan subsidi BBM dan penyaluran dana kompensasi beberapa waktu lalu mengingatkan kita pada satu hal: kita belum memiliki system kebijakan yang pasti untuk melindungi kelompok miskin.
 
Kebijakan subsidi harga BBM melindungi kelompok miskin secara terbatas, hanya dari gejolak harga terkait perubahan harga pasar. Perlindungan yang diberikan pun hanya untuk jangka pendek dari gejolak yang terjadi.
 
Kebijakan dana kompensasi pada prinsipnya mengubah skema subsidi dari subsidi harga ke subsidi langsung. Kebijakan subsidi langsung lebih baik karena distorsi yang ditimbulkan lebih kecil. Selain itu, dengan menargetkan penyaluran subsidi pada kelompok miskin, skema subsidi langsung bisa lebih efektif. Tetapi, pola yang ada kini belum optimal. Pemberian kompensasi masih bersifat reaktif, bukan sesuatu yang berkelanjutan.
 
Kita memerlukan sistem perlindungan sosial yang komprehensif dan berkelanjutan.Sistem yang memberikan perlindungan pada kelompok miskin bukan hanya secara insidental setiap kali ada guncangan (shocks) seperti kenaikan harga BBM atau krisis ekonomi. Ada dua aspek dalam sistem perlindungan sosial: transfer dan manajemen risiko. Perdebatan sejauh ini terfokus pada masalah transfer. Diskusi ihwal aspek kedua, manajemen risiko bagi kelompok miskin, masih relatif absen.
 
      1    Manajemen risiko informal
 
Satu keberhasilan dari pemerintahan Orde Baru adalah menekan jumlah penduduk miskin, dari sekitar 60 persen tahun 1970-an menjadi kurang dari 20 persen di akhir 1990-an. Namun, turunnya angka kemiskinan absolut tak diikuti mekanisme proteksi sosial memadai. Keberhasilan Orde Baru lebih bertumpu pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi serta sejumlah skema subsidi, termasuk subsidi BBM, yang tak bersifat jangka panjang. Akibatnya, banyak penduduk yang hidup di sekitar garis kemiskinan tetap berisiko tinggi masuk kategori miskin.
 
Krisis ekonomi bukan hanya meningkatkan jumlah penduduk miskin menjadi hampir dua kali lipat. Penduduk nonmiskin tetapi berisiko tinggi menjadi miskin naik dari 13 juta menjadi 38 juta atau hampir tiga kali lipat. Hal ini menunjukkan, selain masalah kemiskinan absolut, kurangnya proteksi terhadap risiko, terutama bagi kelompok miskin, adalah masalah serius, tetapi kurang mendapat perhatian.
 
Kelompok nonmiskin umumnya lebih punya akses pada mekanisme manajemen risiko secara formal, seperti asuransi, tabungan, kredit bank, atau dana pensiun. 
Akses kelompok miskin pada mekanisme formal lebih terbatas, bahkan sama sekali tidak ada. Kaum miskin umumnya tidak bisa mendapat kredit bank karena ada keterbatasan aset untuk jaminan. Mereka juga tak mampu membeli premi Asuransi dan penghasilannya sering tidak cukup untuk ditabung. Konsekuensinya, kelompok miskin lebih mengandalkan mekanisme informal dalam manajemen risiko.
 
Manajemen risiko informal bisa dilakukan secara individu maupun kolektif di tingkat keluarga atau komunitas. Secara individu, praktik yang paling umum dilakukan adalah diversifikasi sumber penghasilan. Bagi penduduk sector pertanian, cara diversifikasi penghasilan dengan menanam beberapa jenis tanaman. Sebagian melakukannya dengan memiliki pekerjaan tambahan, misalnya sebagai pekerja musiman di kota.
 
Dalam banyak kasus, kelompok miskin melakukan manajemen risiko secara kolektif, Dengan demikian, network dan institusi sosial menjadi amat penting. Banyak institusi sosial berfungsi sebagai alat untuk manajemen risiko, seperti lumbung desa atau arisan. Tetapi, contoh paling umum adalah meminjam dari keluarga besar atau tetangga saat terjadi kesulitan keuangan. Atas pemikiran ini, di banyak komunitas radisional,pernikahan juga menjadi bagian manajemen risiko.
 
Studi Rozensweig dan Stark (1989) menemukan laki-laki di desa agraris India umumnya menikahi perempuan dari desa lain yang letaknya agak jauh (patrilocal exogamy). Artinya, satu desa "mengekspor" anak perempuan dan "mengimpor" menantu perempuan. Alasan di balik pola ini, jika desa mereka mengalami paceklik, mereka memiliki kerabat di desa lain yang mungkin tidak terkena paceklik, yang bisa membantu secara keuangan.
 
Studi itu juga menunjukkan lalu lintas transfer aset antardesa amat signifikan terjadi, terutama jika sebuah desa mengalami kesulitan panen. Artinya, teori bahwa pernikahan berfungsi sebagai manajemen risiko cukup terbukti. Selain itu, dua anak perempuan dari keluarga yang sama umumnya tidak menikahi pemuda dari desa yang sama. Sesuatu yang ekuivalen dengan hedging risiko yang dilakukan oleh para manajer keuangan.
 
      2.   Keterbatasan manajemen informal
 
Dalam banyak hal, mekanisme informal membantu kelompok miskin dalam manajemen risiko. Tetapi, mekanisme informal memiliki banyak keterbatasan, ia tak bisa  melindungi kelompok miskin dalam guncangan besar atau terus-menerus. Karena perdefinisi kelompok miskin adalah mereka yang hanya memiliki banyak aset, mampu melakukan consumption smoothing hampir tidak ada jika menghadapi guncangan besar. Jika guncangan terus terjadi, aset yang ada sudah habis di periode awal sehingga mereka tak lagi memiliki perlindungan pada guncangan lanjutan.
 
Keterbatasan lain adalah dalam mekanisme informal, bisa terjadi dilema antara mitigasi dan efisiensi. Bagi petani, diversifikasi jenis tanaman adalah sebuah upaya untuk memperkecil risiko. Tetapi, langkah itu bisa berakibat lebih kecilnya tingkat keuntungan yang dihasilkan karena tanaman yang lebih besar risikonya mungkin yang menghasilkan keuntungan terbanyak. Petani miskin umumnya lebih sukar memanfaatkan peluang dari perkembangan teknologi baru karena mereka lebih tidak mampu untuk mengambil risiko, sebagaimana ditunjukkan Rozensweig (1993) dalam studinya tentang petani India di era revolusi hijau.
 
Manajemen risiko secara kolektif memiliki keterbatasan serupa. Mekanisme kolektif tidak efektif jika karakteristik guncangan yang dihadapi bersifat kovariat (memengaruhi seluruh komunitas), seperti bencana alam atau krisis ekonomi.
 
Berbagai keterbatasan dari mekanisme informal ini membuka ruang bagi perlunya intervensi kebijakan. Yang pertama, kebijakan yang bisa memperlebar akses bagi kelompok miskin pada tabungan dan pinjaman. Tabungan dan pinjaman adalah mekanisme paling sederhana dalam mengatasi dampak fluktuasi pendapatan. Mengingat kelompok miskin berpijak pada institusi lokal tradisional, intervensi kebijakan akan optimal dan efektif jika dibangun atas institusi sosial yang ada, bukan menggantikannya.
 
Lembaga keuangan mikro (LKM) adalah contoh sukses sebuah kebijakan yang dibangun di atas institusi sosial yang sudah eksis. Dipelopori Grameen Bank di Banglades, tujuan LKM adalah memberikan pinjaman berskala kecil pada kelompok miskin yang tidak bisa meminjam dari bank karena keterbatasan agunan. Sebagai alternatif atas agunan, kredit LKM diberikan kepada kelompok kecil. Setiap anggota akan bertanggung jawab atas kinerja anggota lain.
 
Selain tabungan dan pinjaman, kelompok miskin perlu mendapat akses ke asuransi. Jenis asuransi bisa berbeda-beda. Bagi kelompok miskin sektor pertanian, yang diperlukan adalah semacam asuransi cuaca yang menjamin petani tetap memiliki pendapatan di saat cuaca buruk. Bagi kelompok miskin kota yang bekerja di sektor industri, yang diperlukan semacam tunjangan pengangguran.
 
Sudah saatnya diskusi tentang kebijakan perlindungan sosial dalam jangka panjang bagi kelompok miskin dimulai, terutama diskusi tentang bagaimana meningkatkan kemampuan mereka dalam manajemen risiko.

Related Posts

Manajemen Risiko bagi Warga Miskin
4/ 5
Oleh